Liputan6.com, Aceh - Aksi demo menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang digelar di depan gedung DPRK Aceh Barat, Senin (12/9/2022) berakhir ricuh. Aparat dituding melakukan kekerasan, sebaliknya kepolisian yakin bahwa yang mereka lakukan sesuai prosedur.
Menurut Ketua Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh Barat, Engga Pratama, situasi mulai tidak terkendali sejak polisi melontarkan gas air mata ke arah kerumunan. Dalam video yang tersebar luas, seketika massa buyar usai tembakan gas air mata sementara satu orang terkapar jatuh.
“Ada yang pingsan akibat peluru tembakan gas air mata langsung terkena anggota badan salah satu massa aksi. Kepolisian langsung melakukan tindakan represif. Ada yang dipukul kepalanya dan ada yang diseret sampai badannya lecet,” jelas Engga dalam rilisnya kepada Liputan6.com, Rabu (14/9/2022).
Advertisement
Engga mengatakan ada peserta aksi yang dibawa lari ke rumah sakit akibat terpapar gas air mata. Selain itu, seorang balita juga ikut jadi korban.
Dalam foto yang beredar, tampak si ibu menggendong anaknya. Wajah keduanya diolesi pasta gigi untuk menekan rasa nyeri akibat zat kimia yang ditimbulkan gas air mata.
Belasan mahasiswa sempat ditahan usai kericuhan namun dibebaskan kembali pada malam harinya. Polisi mengaku turut mengamankan senjata tajam yang ditemukan di tengah-tengah kericuhan namun kebenaran tentang ini dibantah melalui video klarifikasi oleh mahasiswa.
Dalam rilis yang disebar melalui bagian kehumasan Polda Aceh, Kapolres Aceh Barat AKBP Pandji Santoso menuding mahasiswa anarkis dan berusaha menerobos masuk ke kantor DPRK Aceh Barat saat demo BBM. Pandji mengaku harus bertindak atas nama undang-undang.
"Gelagat rusuh itu sudah tercium sebelum demo digelar. Makanya, jumlah pengamanan kami tingkatkan, bahkan ada dari Polres Aceh Jaya dan Nagan Raya,” ujar Pandji.
Engga membantah pernyataan tersebut. Menurutnya, kapolres sedang berusaha menggiring opini publik untuk membenarkan tindakan kekerasan yang langsung dikomandoi olehnya pada siang itu.
“Massa aksi sangat tertib, justru aparat kepolisian yang duluan menembak gas air mata ke arah massa aksi. Kami juga membantah adanya senjata tajam dari massa aksi, sebelum bergerak kita sudah mengantisipasi barang-barang seperti itu,” kata Engga.
Tanggapan Kontras Aceh
Di tempat terpisah, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan bahwa petugas kepolisian seharusnya paham bahwa demonstrasi merupakan praktik demokrasi yang diakui konstitusi. Karena itu, peserta aksi tidak boleh diperlakukan seperti kriminal.
“Aparat jangan anggap demo sebagai pelanggaran hukum atau ditanggapi dengan tindakan-tindakan kekerasan,” tegasnya.
Mengenai gelombang aksi penolakan kenaikan harga BBM yang muncul di mana-mana, Husna menilai hal tersebut sebagai gejala wajar dalam masyarakat demokrasi. Segala kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat sepatutnya memang disikapi dengan kritis dan tidak boleh dibungkam dengan cara apa pun.
Advertisement