Sukses

Tradisi Yaa Qowiyyu dan Kisah Ki Ageng Gribig Bagi-Bagi Apem

Tradisi ini berawal dari kebaikan kecil seorang ulama besar yang mampu menjadikan hal besar terjadi.

Liputan6.com, Klaten - Ada sebuah tradisi unik yang diadakan oleh masyarakat Kecamatan Jatinom, Klaten, setiap bulan Safar dalam penanggalan Islam. Tradisi bernama Yaa Qowiyyu ini merupakan tradisi peninggalan Ki Ageng Gribig yang telah berlangsung sejak zaman Mataram Islam.

Ki Ageng Gribig sangat menguasai strategi berdakwah, sehingga dakwahnya mengena di hati masyarakat. Mereka yang saat itu masih banyak yang atheis pun akhirnya bersedia memeluk Islam.

Tradisi ini berawal dari kebaikan kecil seorang ulama besar yang mampu menjadikan hal besar terjadi. Adalah Ki Ageng Gribig, seorang ulama besar yang menyebarkan Islam di Desa Krajan, Jatinom Klaten, dan sekitarnya.

Pada 1589 Masehi atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig yang memiliki nama asli Wasibagno Timur pulang dari Makkah dengan membawa tiga oleh-oleh berupa tanah, air zam-zam, dan kue gimbal. Ketiga oleh-oleh tersebut ditranformasikan dalam simbolisasi landscape pembangunan kota Jatinom.

Tanah yang diambil dari Padang Arafah disimbolkan sebagai yaa qawiyyu. Ki Ageng Gribig pun membangun Oro-Oro Tarwiyah (Alun-alun Tarwiyah) yang berfungsi sebagai tempat ibadah salat.

Kata 'tarwiyah' berarti hari ke-8 di bulan Dzulhijah. Tujuan utamanya yakni sebagai ajakan untuk menunaikan ibadah salat.

Sedangkan oleh-oleh air zam-zam disimbolkan dengan adanya Sendang Suran (sur-suran) di sekitar sungai Plampeyan atau Klampeyan (Oro-Oro). Air ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat untuk hidup sehat, menjaga kebersihan dengan wudhu, dan untuk menyucikan diri dari hadas atau najis.

Oleh-oleh selanjutnya adalah kue gimbal, yang selanjutnya dinamakan apem. Kue apem menjadi awal mula terciptanya tradisi yaa qowiyyu di Klaten saat ini masih rutin digelar.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Sejarah Terciptanya Tradisi Yaa Qawiyyu

Selepas kepulangan Ki Ageng Gribig dari Tanah Suci, masyarakat dan sanak saudara pun berkumpul untuk mendengarkan cerita dan wejangan ilmu dari Ki Ageng Gribig. Setelahnya, Ki Ageng Gribig pun membagikan secara merata oleh-oleh berupa kue apem yang telah dibawanya dari Makkah.

Namun, karena jumlahnya tak cukup, Ki Ageng Gribig pun meminta keluarganya untuk membuat kue apem. Dari sinilah tradisi andum apem atau yaa qowiyyu mulai berkembang.

Tradisi ini sudah dimulai sejak 403 tahun lalu, tetapi seiring bertambahnya jumlah peziarah di makam Ki Ageng Gribig, juga telah diadakan kirab yang mulai diadakan sejak 1985.

Puncak acara dari tradisi ini ditandai dengan membagikan 4 hingga 5 ton apem kepada seluruh masyarakat sebagai simbol kebajikan dalam memberikan sedekah kepada sesama. Apem berasal dari kata 'affum' atau 'afwan' yang berarti maaf itu kemudian disebut apem yaa qawiyyu.

Sumber lain mengatakan, kata yaa qawiyyu diberikan karena saat menutup pengajian, Ki Ageng Gribig selalu memanjatkan doa yang berbunyi "Ya qowiyu yaa aziz qowina wal muslimin, ya qowiyyu warsuqna wal muslimin".

Doa tersebut memiliki arti "Ya Tuhan, zat yang Maha kuat, Ya Allah zat yang Maha menang, mudah-mudahan memberikan kekuatan kepada kami dan kaum muslimin". Bermula dari kisah itu, andum apem yaa qawiyyu telah menjadi tradisi masyarakat Klaten hingga sekarang.

Masyarakat percaya tradisi tersebut membawa berkah. Tradisi ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali, pada hari Jumat pertengahan bulan Safar atau tepatnya saat Safar antara tanggal 12 sampai 18 tiap tahun di hari Jumat.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak