Liputan6.com, Yogyakarta - Bagi sebagian orang, makanan kaleng menjadi salah satu pilihan alternatif saat tak memiliki waktu luang untuk mengolah makanan. Tak hanya lezat, kudapan ini juga memiliki harga yang relatif terjangkau.
Umumnya, makanan kaleng bisa berupa olahan ikan, daging, atau variasi lain yang diawetkan dengan cara dikalengkan. Selain praktis, lezat, dan terjangkau, makanan kaleng bisa menjadi alternatif makanan untuk jangka panjang karena awet dan mudah diolah.
Mengutip dari Johnson & Wales University, hadirnya makanan kaleng di dunia, termasuk Indonesia, memiliki perjalanan yang cukup panjang. Sejarah makanan kaleng dimulai ketika pemerintah Perancis membuat sayembara dan menawarkan hadiah besar untuk mereka yang dapat mengawetkan makanan.
Advertisement
Tak tanggung-tanggung, hadiah tersebut bahkan mencapai hingga 12.000 franc atau setara dengan Rp 167 juta. Pencetus sayembara ini adalah seorang jenderal Prancis terkenal pada saat itu, Napoleon Bonaparte.
Baca Juga
Kala itu, ia sedang mencari metode mengawetkan makanan untuk mendukung konsumsi logistik pasukannya saat berpindah ke berbagai negara. Kemudian, pada 1803, seorang juru masak bangsawan Perancis, Appert, memulai eksperimennya.
Appert berpendapat bahwa makanan mudah basi karena terkena udara terbuka. Ia pun kemudian membuat sup yang dapat diawetkan dengan sejumlah bahan tertentu, seperti daging, saus kacang, dan kacang polong.
Ia kemudian mengemas makanan itu dalam botol anggur. Benar saja, dalam rentang waktu 3 bulan, makanan tersebut masih enak dan layak dikomsumsi oleh para prajurit Perancis.
Penemuan ini lantas menjadi cikal bakal pengawetan makanan dengan media kaleng di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak merek-merek makanan yang mulai memproduksi makanan kaleng sebagai pilihan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hingga saat ini.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Makanan Khas Belanda
Sebelum Appert, metode pengawetan makanan telah diterapkan di negeri koloni Belanda, yakni Hindia Belanda. Pejabat arsiparis Hindia Belanda, F. de Haan, dalam "Priangan, de Priangen-Regentschapen onder het Nederlansdsch Bestuur tot 1811" mencatat, penduduk Batavia telah mengenal makanan kaleng sejak 1614.
Pada 1680 sudah ada pengiriman kaviar (telur ikan) dan buah zaitun dalam kaleng. Sedangkan pada 1715, sudah ada kue yang dibungkus timah.
Sementara itu, ikan asap dengan saus dalam kaleng menyusul masuk ke Batavia pada 1794. Selama periode kolonial, makanan kaleng tetap menjadi pilihan di meja makan keluarga Belanda totok.
Memasuki abad ke-20, hidangan Eropa dengan sajian demikian dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Stigma ini berdampak terhadap semakin besarnya konsumsi makanan kalengan.
Menurut data Handbook of the Netherlands East Indies tahun 1930, jumlah makanan kaleng yang diimpor dari luar negeri memiliki nilai yang cukup besar. Jenis makanannya pun variatif, mulai dari mentega, keju, ikan, daging, biskuit, buah, hingga sayuran.
Hal itu disusul dengan munculnya iklan makanan kaleng yang mulai bertebaran. Dalam Gids voor Indie tahun 1933, terpasang iklan makanan kaleng Del Monte, produksi Amerika, berisi asparagus, ercis, hingga buah-buahan.
Advertisement
Makanan Kaleng di Indonesia
Selepas masa kolonial, makanan kaleng tidak begitu dilirik masyarakat Indonesia hingga masa Orde Baru. Pada 1948, muncul pabrik makanan kaleng di Denpasar, Bali, yakni Canning Indonesian Products (CIP).
Semula, pabrik ini milik Taiwan Chikusan, yang didirikan pada masa pendudukan Jepang untuk memenuhi kebutuhan logistik saat perang. Setelah Jepang angkat kaki, perusahaan itu dibeli orang-orang Tionghoa dan masih bertahan hingga sekarang.
Sementara itu, pada 1952, berdiri pabrik Indonesian Canning and Frezzing Factory (ICAFF) di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Karena seretnya permintaan, ICAAF mengalami kemunduran produksi yang berdampak pada gulung tikar.
Kemudian, dibukanya pintu modal asing meningkatkan jumlah pabrik makanan kaleng di Indonesia. Pada 1970, menurut data Dirjen Perikanan, sebanyak 17 pabrik makanan kaleng telah berdiri di Indonesia.
Saat itu, pemerintah memang sedang menggenjot industri pengalengan makanan, terutama ikan, mengingat potensi maritim Indonesia yang begitu besar. Sepanjang dekade 1980-an, konsumsi makanan kaleng di kalangan masyarakat kota-kota besar pun meningkat.
Umumnya, mereka menyebut makanan kaleng berisi ikan dengan sebutan sarden. Sementara kornet menjadi julukan untuk makanan kaleng berisi daging. Hingga saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang masih menjadikan makanan kaleng sebagai salah satu pilihan makanan olahan untuk dikomsumsi.
(Resla Aknaita Chak)