Sukses

Jaga Rumah Tempat Ibadah Minggu, Kisah Toleransi Warga Kutai Kartanegara

Warga Suku Kutai di Kabupaten Kutai Kartanegara punya kisah menjaga sebuah rumah yang dijadikan ibadah minggu umat Kristen.

Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Kita tentu mengenal Kerajaan Kutai yang berpusat di Muara Kaman sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Meski ada bukti sejarah menyebutkan nama kerajaan ini adalah Kerajaan Martapura, namun kita semua sepakat jika dahulu kala wilayah Kutai adalah penganut Hindu.

Pada abad ke-17, Kerajaan Kutai Kartanegara yang telah memeluk Islam menganeksasi Kerajaan Kutai Martapura. Kerajaan yang berpusat di Delta Mahakam, di sebuah bukit yang bernama Negeri Jahetan Layar, itu kemudian menaklukkan kerajaan yang telah berdiri sejak abad keempat.

Proses islamisasi terus terjadi hingga kini nyaris seluruh penduduk Suku Kutai beragama Islam. Kerajaan Kutai memiliki wilayah di sepanjang aliran Sungai Mahakam dan menyebar ke pesisir Sangkulirang hingga Paser.

Para ahli sejarah menyebut, penaklukan Kerajaan Kutai Martapura tak ada hubungannya dengan penyebaran ajaran Islam. Proses itu sebagai bagian dari perluasan wilayah kekuasaan. Tidak pula ditemukan kisah atau catatan sejarah pemaksaan pemindahan agama warga Kutai.

Meski menganut Agama Islam, warga Kutai tetap menjaga situs-situs tua dan bersejarah milik Hindu kuno tersebut. Bahkan bagi warga Kutai, situs tersebut menjadi bagian dari budaya mereka yang harus dilestarikan sebagai satu kesatuan warisan leluhur.

Karena hidup di sepanjang alirang sungai, ada beberapa wilayah yang menjadi pusat ekonomi dan perdagangan. Salah satunya adalah Muara Muntai.

Sejak dulu hingga sekarang, Kecamatan Muara Muntai adalah tempat persinggahan paling aktif karena memiliki persimpangan sungai. Aktivitas warga di hulu Sungai Mahakam seperti Kutai Barat dan Mahakam Ulu cukup tergantung dari Muara Muntai.

Sebagai pusat perekonomian, kecamatan ini memiliki sekolah yang lengkap. Setidaknya sampai jenjang menengah atas.

Maka di beberapa wilayah di sekitar Muara Muntai menggantungkan pendidikan mereka di kecamatan ini. Para remaja dari berbagai desa di sekitar Muara Muntai yang melanjutkan pendidikan di kecamatan ini karena aksesnya paling dekat.

Karena hanya ada trasnportasi sungai kala itu, maka siswa tersebut memilih menetap dengan menyewa kamar kos atau sebuah rumah. Mereka yang datang tak semua beragama Islam.

Faidil Akbar (43), warga Muara Muntai bercerita, hingga tahun 2000-an hanya Muara Muntai yang memiliki sekolah menengah di kawasan Danau Kaskade Mahakam. Ada tiga danau luas di kawasan ini yakni Danau Melintang seluas 11 ribu hektar, Danau Semayang 13 ribu hektar, dan Danau Jempang 15 ribu hektar.

Dia menyebut, di berbagai sisi danau banyak pemukiman warga. Di Danau Jempang misalnya, ada Desa Tanjung Isuy dengan mayoritas warga Suku Dayak Benuaq.

“Mayoritas dari suku Dayak kan beragama Kristen atau Katolik dan mereka sekolah di Muara Muntai yang mayoritas Islam,” kata Faidil kepada liputan6.com, Minggu (18/9/2022).

Mereka kemudian menetap di Muara Muntai selama menempuh pendidikan. Di saat yang sama, Muara Muntai mendapat kiriman seorang tenaga kesehatan yang disebut Mantri.

“Saya lupa nama lengkapnya, tapi kami memanggilnya Mantri Ratak,” kata Faidil.

Simak juga video pilihan berikut: 

2 dari 3 halaman

Jaga Ibadah Minggu

Kebetulan, Mantri Ratak bersuku Dayak dan juga beragama kristen. Namun tak ada tempat ibadah umat Kristen di Muara Muntai.

“Waktu itu Mantri Ratak bertugas sekitar 1980-an dan rumah yang ditinggalinya sekaligus tempat praktik posisinya persis di samping rumah saya,” kata Faidil.

Karena ada 20 lebih siswa beragama Kristen yang menempuh pendidikan setiap tahunnya di Muara Muntai, mereka butuh tempat ibadah. Maka, rumah Mantri Ratak menjadi tempat ibadah sementara.

“Pendetanya langsung Mantri Ratak sendiri dan diikuti para siswa dari luar Muara Muntai itu,” sambungnya.

Faidil bercerita, dia bersama warga lainnya ikut menjaga rumah Mantri Ratak saat ibadah berlangsung. Sebab, Muara Muntai dibangun di atas bangunan ulin, termasuk jalan.

“Karena jalannya berupa jembatan ulin, kalau ada kendaraan lewat jadi sangat berisik. Kemudian sering anak-anak bermain jadi kita jaga agar mereka bisa beribadah dengan tenang dan khusyuk,” katanya.

Faidil sendiri menjadi saksi kisah itu karena dia juga yang terlibat. Kehidupan yang mengedepankan toleransi dan kerukunan menjadi kisah nyata di Muara Muntai.

“Warga Muara Muntai menghormati, tidak mengganggu, bahkan ikut menjaga ibadah tersebut,” kata Faidil.

Faidil tidak menampik jika kebutuhan rumah ibadah diperlukan, warga Muara Muntai akan mengizinkan. Namun karena sifatnya sementara, pendirian gereja memang tidak dibutuhkan kala itu.

Mantri Ratak bukan sekedar tenaga kesehatan yang ditempatkan di Muara Muntai. Kecamatan ini dulu terpencil karena tidak ada akses darat sama sekali.

Maka petugas kesehatan menjadi sangat langka karena sangat sedikit yang bersedia ditempatkan di tempat terpencil. Mantri Ratak adalah satu dari yang sedikit itu.

“Dahulu dii sini layanan kesehatan sesuatu yang langka bagi kami. Maka kehadiran Mantri Ratak sangat dibutuhkan,” kenang Faidil.

Mantri Ratak sangat berdedikasi dengan profesinya. Tak ada jam layanan tetap. Jam berapapun, saat warga membutuhkan, Mantri Ratak akan melayani.

“Kalau terjangkau beliau datangi, kalau jauh beliau siap dijemput. Karena di sini ke mana-mana harus pakai perahu, biasanya warga yang jauh akan menjemput mantri,” cerita Faidil.

Karena sangat dikenang jasanya, sebuah tempat di tepi sungai di Desa Muara Muntai Ilir dinamakan Batang Ratak. Batang bagi warga setempat bermakna sebuah tempat terapung yang dibentuk dari batang pohon yang disusun.

Biasanya digunakan untuk MCK, dermaga kapal kecil, atau aktivitas masyarakat lainnya di tepi sungai. Setiap rumah biasanya memilikinya untuk aktivitas sehari-hari.

Tahun 2000-an, Mantri Ratak meninggal. Di saat bersamaan sudah berdiri sekolah-sekolah menengah di berbagai desa.

Tak ada lagi warga Suku Dayak bersekolah di Muara Muntai karena mereka tentu mencari sekolah yang lebih dekat. Meski demikian, Mantri Ratak tetap dikenang oleh warga Muara Muntai.

“Warga mengenang jasa dan kebaikan Mantri dengan menamakan tempat itu sebagai Batang Ratak, meski orangnya sudah meninggal dan batangnya sudah tidak ada,” kenang Faidil.

3 dari 3 halaman

Potret Toleransi di Kutai Kartanegara

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kutai Kartanegara Rinda Desianti menyebut kehidupan toleransi di Kabupaten Kutai Kartanegara cukup baik. Kehidupan beragama berjalan dengan normatif dan saling menghormati.

Dia kemudian menjelaskan SKB 2 Menteri nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang mengatur soal pendirian rumah ibadah dan bangunan yang dijadikan rumah ibadah sementara. Pengaturan tersebut berkaitan dengan upaya menjaga agar masyarakat sekitar terlibat dalam pendirian rumah ibadah.

“Terlibat dalam pengertian bahwa memang harus ada yang disebut izin lingkungan,” kata Rinda saat dihubungi via telepon, Senin (19/9/2022).

SKB tersebut memuat aturan harus ada 90 umat beragama yang akan menggunakan rumah ibadah yang akan dibangun. Di sisi lain juga harus izin minimal 60 orang warga sekitar.

Merujuk hal itu, di beberapa tempat terkadang memang tidak terpenuhi. Di kabupaten ini, paling sering yang terbentur adalah aturan soal pengguna rumah ibadah yang tak sampai 90 orang.

Meski demikian, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara punya kebijakan sendiri soal pendirian rumah ibadah. Kebijakan tersebut diambil karena kondisi geografis kabupaten ini yang sangat luas.

“Saya sampaikan kepada kawan-kawan, kita melihat konteksnya. Kalau dalam satu desa atau kelurahan itu pemeluk agama tertentu tidak memenuhi syarat jumlah, kita perluas menjadi kecamatan. Kalau jumlahnya tidak cukup lagi, kita tarik ke Kabupaten,” papar Rinda.

Bagi Kutai Kartanegara, syarat di SKB 2 menteri tidak harus saklek. Kondisi sosiologis dan geografis sangat penting menjadi pertimbangan.

“Kalau kemudian kita terlalu saklek mengikuti (syarat) 90 pengguna kan akan menjadi persoalan, akan sulit kawan-kawan kita punya rumah ibadah,” katanya.

Soal penolakan rumah ibadah, Rinda tidak menampik pernah terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara. Namun kebijakan pemerintah yang dibuat serta pendampingan kepada masyarakat, ibadah di tempat sementara seperti rumah warga tetap bisa terlaksana.

“Tapi bisa kita selesaikan bersama-sama dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Ada, (peristiwa itu) ada,” sebutnya.

Meski tidak menyebut lokasi persisnya, namun Rinda menjelaskan kasus tersebut adalah bangunan yang dijadikan rumah ibadah sementara. Pendirian rumah ibadah sementara juga ada syaratnya di SKB 2 Menteri.

“Kami mencoba selalu menjembatani, mengkomunikasikan berkaitan dengan misalnya kalau ada masalah-masalah seperti itu kita turun, kita komunikasikan dengan pemerintah setempat, tokoh agama, tokoh masyarakat,” kata Rinda.

Upaya ini adalah langkah Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara agar kehidupan masyarakat tetap kondusif dan mengedepankan nilai-nilai toleransi. Meski demikian, rumah ibadah tetap harus mendapatkan izin terutama dari sisi adminsitrasi dan lingkungan.

“Rata-rata kendalanya itu soal komunikasi saja. Tapi ketika komunikasi sudah bagus akhirnya diizinkan,” ujar Rinda.