Liputan6.com, Pekanbaru - Intensitas konflik satwa liar dilindungi dengan manusia di Riau terus terjadi. Tahun ini, telah terjadi 55 konflik, baik itu harimau sumatra, gajah hingga beruang madu dengan manusia.
Dari jumlah itu, tak jarang gajah, beruang hingga harimau menjadi korban. Ada yang mati terjerat ataupun diracun seperti kasus gajah mati di Kabupaten Bengkalis.
Advertisement
Baca Juga
Tidak hanya satwa, manusia juga menjadi korban. Sejak tahun 2018 ada 9 nyawa manusia melayang, baik diterkam harimau, diinjak gajah, ataupun diserang beruang.
Menurut Plt Direktur Pencegahan dan Pengamanan Kementerian Lingkungan Hidup Sustyo Iriyono, konflik terjadi karena habitat satwa terdegradasi dan terfragmentasi. Penyebabnya adalah perusakan ataupun konversi hutan.
"Sehingga terjadi tumpang tindih ruang hidup antara manusia dan satwa," kata Sustyo, Kamis petang, 22 September 2022.
Di Riau, konflik satwa bakal terus terjadi. Salah satu penyebabnya hutan tidak akan pernah bertambah karena sejumlah kawasan sudah ada pemegang konsesi.
Perusahaan pemegang konsesi ini setiap tahun terus merubah hutan alam menjadi hutan tanaman industri. Tak jarang perubahan ini tanpa memikirkan keberadaan satwa liar dilindungi di dalamnya.
Selain konsesi, perusakan hutan juga terjadi karena perambahan. Hutan alam dibabat oleh perambah lalu dirubah menjadi perkebunan.
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Solusi Nyata
Di Riau, taman nasional hingga kawasan konservasi tak luput dari perambahan. Sebut saja misalnya Taman Nasional Tesso Nilo yang kini kritis karena tinggal belasan ribu hektare dari puluhan ribu hektare kawasan yang ditetapkan.
Keadaan ini tak ditampik oleh Sustyo. Dia pun meminta BBKSDA, tim penegak hukum kementerian di Riau hingga Polda Riau sebagai pengawas penyidikan terus berkoordinasi.
"Ini dilakukan rapat koordinasi selama 2 hari, semuanya hadir," jelas Sustyo.
Sustyo meminta output yang dihasilkan nanti berbeda dengan kebijakan tahun-tahun sebelumnya. Harus ada langkah nyata antara pemangku jabatan dengan perusahaan pemegang konsesi.
"Pemegang perizinan (perusahaan) harus menaati aturan/kewajiban yang telah ditetapkan pemerintah, seperti alokasi untuk penyediaan areal HCV, koridor satwa dan lainnya," kata Sustyo.
Dia menyatakan, prinsip konservasi dalam pemanfaatan hutan sangat diperlukan. Pembangunan bukan hanya bersifat antroposentris, namun perlu memperhatikan hidupan liar sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan ekologis.
"Komitmen dan konsistensi para pihak dalam penanganan konflik satwa-manusia dan perburuan itu penting, jangan konvensional, harus konkret," jelas Sustyo.
Advertisement