Sukses

Kata Wamenkumham soal 'Obstruction of Justice' dalam Kasus Ferdy Sambo

Penerapan obstruction of justice pada kasus Ferdy Sambo CS disinggung oleh Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, dalam dialog RKUHP di kampus Untirta Banten.

Liputan6.com, Serang - Penetapan obstruction of justice pada kasus Ferdy Sambo CS disinggung oleh Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, dalam dialog RKUHP di kampus Untirta Banten, Kota Serang, pada Senin, 26 September 2022. Hal ini lantaran, ada dua pengertian berbeda dari tokoh hukum di Indonesia, mengenai obstruction of justice yang lebih banyak diartikan menghalangi proses hukum.

Menurut Edward, pengertian obstruction of justice dalam penafsiran tokoh hukum Indonesia, R Soesilo dan Moeljatno, memiliki pengertian yang berbeda.

"Obstruction of justice dalam terjemahan Moeljatno melarikan diri. Dalam terjemahannya Soesilo, menghindari penyidikan. Melarikan diri dan menghindari penyidikan kan dua hal yang berbeda," kata Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, di kampus Untirta Banten, Senin (26/09/2022).

Jika pasal itu dikenakan kepada Ferdy Sambo Cs, maka jaksa dan hakim harus membuka naskah asli KUHP yang sudah berusia ratusan tahun, sehingga bisa diterapkan dengan benar sesuai kalimat aslinya.

Jika tidak membuka naskah aslinya, maka hakim dan jaksa tidak bisa memastikan kebenaran dari penerapan Obstruction of justice kepada Ferdy Sambo Cs.

"Pak jaksa bisa memastikan mana yang benar? Enggak bisa, kecuali membaca naskah aslinya. Pak hakim bisa memastikan mana ya tidak benar? Enggak ada jaminan mana yang benar," terangnya.

2 dari 2 halaman

RKUHP, Tersangka Bisa Tidak Dipenjara

Wamenkumham mengatakan bahwa di dalam RKUHP yang baru, tidak semua tersangka dipenjara. Bisa saja mereka dikenakan hukuman kerja sosial, pengawasan, hingga diwajibkan membayar denda. RKUHP yang ditargetkan selesai pada akhir 2022, dianggapnya sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) pemasyarakatan yang telah disahkan.

Modernisasi kitab suci hukum pidana, menurut Wamenkumham, mendesak disahkan, karena KUHP yang ada sekarang sudah tidak cocok lagi diterapkan, lantaran peninggalan kolonialisme dan memiliki kepentingan yang berbeda.

"Di situ diatur juga dalam RKUHP, jika ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun maka hakim bukan menjatuhkan pidana penjara, tapi menjatuhkan pengawasan. Kalau ancaman itu tidak lebih dari 3 tahun, hakim tidak menjatuhkan pidana penjara, melainkan kerja sosial. Maaf, orang-orang yang menolak RKUHP itu, suara-suara yang menginginkan kita di status quo ketidakpastian hukum," dia menandaskan.