Liputan6.com, Gorontalo - Mahasiswa Universitas Ichsan Gorontalo mengkritisi Pemerintah melalui kegiatan Bedah Buku berjudul Momu’ato atau membuka tabir asal mula nama-nama kampung di Gorontalo
Menurut mahasiswa, literasi tentang kedaerahan Gorontalo saat ini mulai sulit ditemukan. Terlebih referensi buku sejarah, budaya, dan adat di Gorontalo itu masih sangat kurang.
Advertisement
Baca Juga
Tentu kondisi ini berimbas pada masyarakat yang tertarik melestarikan budaya di Gorontalo. Namun, mereka terkendala dengan minimnya literasi sejarah kedaerahan khususnya Gorontalo.
Mereka mengilustrasikan, biasanya saat memasuki bulan Syaban di Gorontalo dilangsungkan prosesi acara Modua To Paita atau mendoakan orang yang telah meninggal.
"Nah dengan mulai berkurangnya literasi sejarah ini, membuat Gorontalo itu semakin tidak punya adat lagi. Generasi saat ini bukan tidak mau belajar, tapi literasinya yang kurang,” kata Rahmat Imran.
Di Gorontalo Utara, lanjut Rahmat, sudah langka para imam mendoakan kuburan atau makam. Bahkan, pemuda di daerahnya itu mulai kehilangan cara melestarikan budaya itu.
Dia berharap narasumber bedah buku kali ini bisa menyuarakan kepada Pemerintah eksekutif dan legislatif untuk melahirkan kebijakan pentingnya melestarikan budaya di Gorontalo.
"Inilah yang harus kita dorong, jangan sampai kita hanya terlena dengan modernisasi, adat dan budaya semakin hari tergerus oleh zaman," ungkapnya.
Katanya, tidak hanya tokoh adat yang berkurang untuk mentransformasikan adat istiadat ke pemuda, dokumen untuk dipelajari pun tidak ada sama sekali.
"Banyak sekali anak muda di Gorontalo Utara ingin belajar dan melestarikan budaya, tetapi referensi kearifan lokal sangatlah minim," imbuhnya.
Simak juga video pilihan berikut:
Politisi Proyek
Menanggapi hal ini, Funco Tanipu Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo (UNG) mengatakan, terkait referensi sejarah, budaya dan lainnya tentang kedaerahan merupakan kesalahan masyarakat.
"Salahnya kita di mana? Ya, salah pilih politisi," kata Funco.
Funco melanjutkan, ke depan masyarakat harus pandai memilih politikus yang menyukai sastra dan terutama sejarah. "Kalau politisi tidak suka sastra kemudian kita pilih, pasti dia tidak akan menyukai kegiatan semacam ini," tuturnya
"Paling yang disukai hanya proyek rabat beton, perbaikan drainase, jalan ini jalan itu dan lain-lain,” sambungnya.
Menurutnya, politisi tidak menyukai sastra, tentu berpikir apa untungnya kegiatan semacam literasi ini. Padahal, pembahasan tentang sastra, bagian investasi masa depan atau sebagai modal sumber daya manusia, sehingga sejarah dan budaya Gorontalo tetap diketahui banyak orang.
"Kegiatan bedah buku hari ini tidak sekadar bicara buku, tetapi mencari orang-orang atau kelompok menyukai kegiatan semacam ini untuk bisa mewariskan nilai-nilai budaya Gorontalo," ia menandaskan.
Advertisement