Liputan6.com, Yogyakarta - Lagu Genjer-Genjer seringkali dikaitkan dengan peristiwa sejarah G30S. Pada 1960-an, lagu ini populer dan sempat ditakuti karena dianggap merepresentasikan peristiwa kelam tersebut.
Lagu Genjer-Genjer pun sempat dilarang diputar di beberapa wilayah di Indonesia. Nyatanya, lagu ini diciptakan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dikumpulkan dari beberapa sumber, lagu ini diciptakan oleh seniman asli Banyuwangi, Muhammad Arief, pada 1942. Ketika menulis lagu ini, M Arief ingin menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia yang kala itu dijajah oleh Jepang.
Advertisement
Kesengsaraan yang dialami rakyat itulah yang mendasari terciptanya lagu ini. Makna lagu Genjer-Genjer berkaitan dengan bentuk protes yang dibuat M Arief atas penjajahan Jepang saat itu.
Kemudian, lagu ini menjadi lebih populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada 1962. Lagu yang berkisah mengenai perjuangan kelas akar rumput itu pun sempat dimanfaatkan sebagai lagu kampanye.
Baca Juga
Tak sampai di situ saja, stigma 'Genjer-Genjer' mencuat ketika lagu ini muncul dalam film G30S. Dalam film besutan sutradara Arifin C Noer tersebut, lagu ini digunakan untuk mengiringi scene ketika para jenderal diculik, diinterogasi, dan 'disiksa' oleh anggota Gerwani.
Sebagai pencipta lagu, M Arief pun merasakan stigma tersebut. Setidaknya, hingga 2014, keluarga M Arief masih merasakan sejumlah teror, salah satunya yakni rumah kediaman keluarganya yang masih sering dilempari batu oleh orang tak dikenal.
Musik dari lagu Genjer-Genjer disebutkan diadaptasi dari lagu dolanan berjudul Tong Alak Gentak. Sementara itu, tanaman genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman gulma atau ganggang yang tumbuh di rawa atau area persawahan.
Genjer biasanya dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Genjer dipilih untuk menggambarkan ekspresi kesengsaraan dan kemiskinan rakyat Banyuwangi kala itu.
Akibat situasi yang sulit itu, rakyat Indonesia pun terpaksa mengonsumsi genjer yang dimasak layaknya sayur. Rakyat mengonsumsi daun genjer demi menyelamatkan diri dari kelaparan.
Penulis: Resla Aknaita Chak