Sukses

PT Masterindo Jaya Abadi Wajib Bayar Pesangon Buruh Korban PHK Senilai Lebih Rp56 Miliar

Majelis hakim tidak mengabulkan seluruh tuntutan buruh korban PHK PT Masterindo Jaya Abadi di Bandung.

Liputan6.com, Bandung - Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat, memutuskan agar PT Masterindo Jaya Abadi membayar pesangon terhadap buruh yang telah di-PHK pada April 2021 lalu, senilai lebih dari Rp56,5 miliar.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang digelar di kantor pengadilan Jalan Surapati Nomor 47 itu, Rabu siang (5/10/2022). Menurut kuasa hukum buruh, Mangiring TS Sibagariang, putusan tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan gugatan mereka.

Buruh diketahui menggugat perusahaan agar membayar pesangon senilai dua kali ketentuan atau dua kali upah. Namun, majelis hakim memutuskan hanya satu kali ketentuan atau satu kali upah. Keputusan tersebut, katanya, turut dilandaskan pada Undang-Undang Cipta Kerja.

"Nilainya (sesuai putusan) Rp56,5 miliar lebih, sementara dalam tuntutan kita Rp110 miliar. Kita meminta didasarkan pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003," katanya kepada Liputan6.com usai sidang.

Mangiring menyampaikan, secara keseluruhan ada sekitar 962 buruh yang gugatannya berlanjut hingga tahap akhir persidangan. Semula, berjumlah 1.142 buruh, lalu berkurang menjadi 1.044 buruh.

"Terakhir tersisa 962 buruh. Sebagian ada yang tidak tahan, lalu terpaksa menerima (tawaran uang dari perusahaan). Masa kerjanya berbeda-beda ada yang 20 tahun, 25 tahun, ada yang hampir 30 tahun," katanya.

"Setelah ini, kami masih mempertimbangkan sambil menunggu salinan putusan yang asli, apakah akan kasasi atau menerima (putusan)," imbuhnya.

Di sisi lain, kuasa hukum PT Masterindo Jaya Abadi, Pranjani H L Radja mengaku kecewa terhadap putusan majelis hakim. Pihaknya berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

"Kita sangat kecewa, bagaimana mungkin hakim memutus perkara tidak sesuai dengan fakta," aku Pranjani.

2 dari 2 halaman

Ratusan Buruh Perempuan Mengawal

Sidang putusan itu dikawal ratusan buruh perempuan korban PHK PT Masterindo. Massa berkumpul di depan pengadilan, duduk memblokade jalan. Sebagian bahkan mendirikan tenda darurat. Perwakilan buruh ada yang berorasi dan menenteng poster-poster tuntutan.

Massa diketahui berhimpun dalam Serikat Pekerja Tekstil-Sandang-Kulit (SP TSK) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Bandung.

Menurut Ketua SP TSk SPSI pabrik Masterindo Jaya Abadi, Nopi Susanti, keputusan PHK itu secara resmi berlaku sejak tanggal 29 April 2021, sekitar dua pekan sebelum Hari Raya Idul Fitri. sejauh diketahui Nopi, PT Masterindo mengklaim kondisi perusahaan goyah dihantam pandemi Covid-19.

Pihak perusahaan dianggap enggan membayar pesangon sesuai ketentuan. Kisruh lainnya, buruh mengaku belum menerima THR serta upah satu bulan kerja pada April 2021.

"Alasan di awal mau tutup, tapi ternyata tidak. Posisi kami (karyawan tetap) digantikan (karyawan kontrak)," katanya.

Pihak perusahaan diketahui sempat membantah adanya PHK massal itu. Kepada sejumlah awak media pada Senin (3/10/2022) lalu, kuasa hukum berkelit menyebut perusahaan tak melakukan PHK sepihak, mereka mengklaim bahwa para buruhlah yang mengajukan pemutusan hubungan kerja tersebut.

Pembelaan dari pihak perusahaan disangkal buruh, di antaranya disampaikan Tuti Herawati. Ia sudah bekerja di PT Masterindo Jaya Abadi selama 24 tahun, sebelum akhirnya turut terkena PHK tahun lalu.

"Gembar-gembor dari sana (pihak perusahaan) kita buruh yang minta di-PHK. Mana ada coba buruh minta pekerjaannya hilang? Kronologinya jelas, perusahaan yang awalnya mengajukan mediasi ke Disnaker (Dinas Tenaga Kerja), terus disetujui bahwa kita sudah di-PHK," ungkap Tuti yang juga aktif sebagai pengurus serikat tingkat pabrik itu.

"Kalau buruh yang minta, kenapa perusahaan lebih dulu punya nama-nama pekerja, menyodorkan daftar buruh yang akan diberhentikan, sebelum PHK terjadi? Itu diperlihatkan ke kami (kepada serikat)," Tuti melanjutkan.

Pengakuan Tuti, wacana pengurangan karyawan sudah santer sejak 2019. Awalnya, pihak perusahaan menawarkan pesangon senilai satu kali ketentuan plus 15 persen. Belakangan, tawaran berubah-ubah bahkan menjadi Rp2 juta pertahun masa kerja.

Para buruh, kata Tuti, tegas menolak tawaran perusahaan dan menuntut PT Masterindo Jaya Abadi agar membayar pesangon sesuai ketentuan undang-undang.

"Kita sudah mutlak (di-PHK), kita menuntut pesangon. Seharusnya, saya dapat sekitar Rp150 juta hasil memeras keringat 24 tahun, tapi sesuai putusan jadi sekitar Rp71 juta," katanya. Bersama kawan-kawan buruh lainnya, Tuti akan berunding terkait langkah mereka pascaputusan pengadilan tersebut.