Sukses

7 Tahun Sejak Diputus Bersalah, PT Kallista Alam Belum Juga Melaksanakan Hukuman

Tujuh tahun sejak diputuskan bersalah merusak lahan gambut Rawa Tripa, PT Kallista Alam belum membayar ganti rugi sedikit pun.

Liputan6.com, Aceh - Hukuman terhadap perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam yang dinyatakan bersalah atas kebakaran lahan gambut Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas 1.000 hektare masih belum dilakukan. Warga Nagan Raya didampingi organisasi masyarakat sipil memutuskan untuk mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit).

Dalam konferensi pers, Rabu (5/10/2022), Hasballah, warga Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, didampingi kuasa hukumnya dari LBH Banda Aceh, menyatakan tengah merampungkan persiapan untuk melakukan citizen lawsuit karena eksekusi putusan bahwa perusahaan tersebut diharuskan membayar sejumlah uang ratusan miliar terkesan dilarutkan.

“Yang terbakar itu khususnya lahan Desa Pulo Kruet. Putusannya sudah ada kemarin, tetapi sampai saat ini masih belum ada apa-apa,” kata Hasbullah.

Sebelumnya, perusahaan perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Suak Bahong, Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya divonis bersalah karena membuka lahan tanpa izin dengan cara membakar. Penggugat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Melalui putusan Pengadilan Negeri Meulaboh, PT Kallista Alam diharuskan membayar ganti rugi dengan total Rp 366 miliar. Rinciannya, ganti rugi tunai via rekening negara sebesar Rp 114 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 251 miliar.

Selain diharuskan membayar uang sebesar Rp 5 juta per hari karena terlambat dalam menjalankan putusan pengadilan, pengadilan juga menjadikan tanah, bangunan, serta tanaman di areal merupakan lahan HGU perusahaan sebagai objek sita jaminan.

Putusan bersalah dinyatakan inkrah sejak Agustus 2015 namun kendati sudah tujuh berlalu eksekusi terhadap putusan tersebut masih belum dilakukan. Pengadilan juga tidak mengeksekusi objek sita jaminan untuk dilelang karena perusahaan urung menjalankan putusan pengadilan.

Langkah citizen lawsuit yang ditempuh ditujukan untuk Ketua Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue dan Ketua PN Meulaboh. Keduanya akan dihadapkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.

“Kenapa Ketua PN Meulaboh dan Suka Makmue yang akan digugat, karena, secara hukum yang berwenang untuk melaksanakan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu ada pada pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama,” terang Kepala Operasional LBH Banda Aceh, M. Qudrat Husni Putra, dalam konferensi pers di kantor organisasi masyarakat sipil itu.

LBH Banda Aceh sudah pernah melempar somasi atau notifikasi kepada Pengadilan Suka Makmue agar segera mengeksekusi putusan. Lembaga tersebut juga menyurati pengadilan tinggi di provinsi serta Mahkamah Agung untuk memberikan petunjuk atau pembinaan, namun menurut Qudrat tidak membuahkan hasil.

Qudrat menyoroti perihal masa berlaku HGU PT Kallista Alam yang diberikan berdasarkan sertifikat HGU Nomor 27 dan gambar situasi nomor 18/1999 tanggal 22 Januari 1998 terbitan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Barat. Tanah, bangunan, serta tanah di atas areal seluas 5.769 hektare itu kini menjadi objek sita jaminan pengadilan yang bisa dilelang jika perusahaan tidak rela membayar seperti bunyi putusan.

“Jaminan itu HGU, HGU itu memiliki batas waktu. Ketika HGU itu habis jangka waktunya, maka tanah itu akan kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Ketika dia habis, maka eksekusi tidak bisa dijalankan, karena yang dieksekusi sudah jadi milik negara,” tegas dia.

Apabila dibiarkan berlarut-larut, sementara di satu sisi masa berlaku HGU perusahaan semakin menipis, maka berdampak pada mengecilnya nilai jual ketika objek sita jaminan tersebut dilelang. Hasil lelang ditakutkan tidak akan cukup untuk memulihkan kerusakan lingkungan yang telah disebabkan oleh perusahaan.

“Atau bahkan, jangka waktu HGU nya bisa berakhir sehingga eksekusi tidak lagi bisa dijalankan. Kalau eksekusi tidak lagi dijalankan, bagaimana hak atas lingkungan yang baik dan sehat terhadap masyarakat Nagan Raya,”

 

2 dari 2 halaman

Alot

Sebagai info, pada 2016, Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh pernah menerbitkan penetapan menunda pelaksanaan eksekusi sampai turunnya putusan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh perusahaan ke Mahkamah Agung. Ini dinilai janggal oleh Qodrat karena PK tidak dapat menunda putusan pengadilan yang telah inkrah atau memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada 2017. KLHK kembali mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh. Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh saat itu bersikeras menunda eksekusi sambil menunggu hasil putusan PK dari MA.

Sampai akhirnya, MA menolak permohonan PK PT Kallista Alam pada April 2017. Satu bulan kemudian, PT Kallista ngotot ingin menggugat sejumlah instansi ke Pengadilan Negeri Meulaboh termasuk Menteri LHK.

PN Meulaboh mengabulkan gugatan tersebut. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat PK pun dinyatakan tidak memiliki kekuatan eksekutorial terhadap PT Kallista Alam, selain itu, objek sita jaminan yang sebelumnya diletakkan atas HGU perusahaan diperintahkan untuk diangkat.

Putusan yang dinilai ngawur itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Pada tingkat banding, gugatan yang diajukan oleh PT Kallista Alam dinyatakan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard.

Putusan ini diperkuat oleh MA dengan jalan menolak kasasi PT Kallista Alam pada 2019. PN Meulaboh telah menerbitkan penetapan yang isinya meminta bantuan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Suka Makmue untuk melelang objek sita jaminan, namun, sampai saat ini juga belum terjadi apa-apa.