Sukses

Mengulik Cikal Bakal Angkringan, Mengapa Begitu Populer di Yogyakarta?

Menilik dari sejarah terciptanya angkringan, tempat makan ini sebenarnya sudah ada sejak 1930-an.

Liputan6.com, Yogyakarta - Murah, itulah kata sederhana yang bisa menggambarkan angkringan. Tempat makan yang cukup populer di Yogyakarya ini memang selalu memiliki daya tarik tersendiri.

Selain murah, angkringan juga mudah ditemukan di setiap sudut Kota Yogyakarta. Dengan penerangan lampu yang remang-remang dan tenda seukuran gerobak, angkringan seolah menjadi salah satu ikon Kota Yogyakarta.

Menilik dari sejarah terciptanya angkringan, tempat maka ini sebenarnya sudah ada sejak 1930-an. Menjadi budaya yang turun-temurun, ternyata angkringan yang populer di Yogyakarta ini berasal dari Solo.

Disebutkan, tempat makan ini diciptakan oleh seorang laki-laki bernama Eyang Karso Dikromo dari Desa Ngerangan, Klaten. Eyang Karso Dikromo ini lebih akrab disapa dengan nama Jukut.

Eyang Karso Dikromo yang suka berganti-ganti profesi ini mulai tertarik dengan bisnis makanan. Saat berusia 15 tahun, ia pun pergi merantau ke daerah Solo untuk mengubah nasibnya.

Sebagai anak tertua, ia harus menghidupi keluarganya sejak ayahnya meninggal. Saat di Solo, ia pun bertemu dengan Mbah Wiryo.

Angkringan yang dibangun oleh Eyang Karso dan Mbah Wiryo bukanlah angkringan seperti yang kita jumpai saat ini. Awalnya, Eyang Karso dan Mbah Wiryo membuat makanan terikan, yakni makanan dari Jawa Tengah yang terbuat dari bahan dasar aneka protein yang dimasak dengan kuah kemtal.

Saat itu, mereka menjajakan makanannya pada malam hari. Mereka pun berinovasi dengan menambahkan beberapa minuman hangat yang cocok dinikmati saat malam hari, seperti wedang jahe, teh manis panas, kopi panas, hingga aneka minuman kesehatan tradisional lainnya.

Berhubung lebih banyak orang yang mampir untuk menikmati minuman saja tanpa ingin menyantap terikan, Eyang Karso dan Mbah Wiryo pun memiliki ide untuk menyajikan menu jajanan atau camilan kampung, seperti pisang rebus, pisang goreng, singkong goreng, ubi goreng, dan lainnya.

Hidangan istimewa kampung atau yang selanjutnya disebut 'hik' ini menjadikan angkringan mulai dikenal. Sebutan hik di Solo pun lebih populer ketimbang angkringan.

Adapun nama angkringan berasal dari bahasa Jawa, yaitu 'angkring' yang berarti alat dan tempat jualan makanan keliling. Hal tersebut sesuai dengan cara awal Eyang Karso dan Mbah Wiryo berjualan, yakni dengan menggunakan gerobak pikul.

Bentuk gerobak pikul merupakan sebuah gerobak yang di bagian kanan dan kirinya terdapat gerobak kecil dengan ukuran sedang. Bagian atas dari gerobak ini diberi sebuah pikulan berbahan kayu.

Dengan adanya pikulan ini, maka pedagang bisa dengan mudah membawa barang dagangan mereka sambil berkeliling. Seiring berjalannya waktu, angkringan tak lagi dijual dengan cara dipikul, tetapi dijual dengan bentuk gerobak dengan dua roda di sampingnya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Lebih Populer di Yogyakarta

Meski dibuat oleh orang Klaten dan muncul pertama kali di Solo, tetapi angkringan justru lebih populer di Yogyakarta. Ternyata ada sejarah dibalik kepopuleran angkringan di Yogyakarta ini.

Pada 1950-an, tempat makan ini sudah menyebar ke seluruh daerah yang ada di Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta. Kepopuleran angkringan di Yogyakarta tampaknya telah menemukan titik kejayaannya.

Pasalnya, di kota Yogyakarta terdapat banyak pelajar dan mahasiswa yang sering mampir ke angkringan di malam hari untuk mengisi perut. Selain mahasiswa, wisatawan juga menjadi salah satu penyebab kepopuleran angkringan di Yogyakarta.

Menu yang beragam dengan harga yang murah menjadi alasan para mahasiswa dan wisawatan untuk mampir ke tempat makan sederhana ini. Salah satu menu yang paling populer adalah nasi kucing.

Nasi kucing merupakan kuliner yang di dalamnya terdapat nasi dan lauk pauk. Lauk pauknya pun beragam, bisa berupa orak tempe, telur balado, sambal goreng kentang ati, sambal teri, dan lain sebagainya.

Keunikan dari nasi kucing adalah ukurannya yang kecil sehingga mirip dengan porsi makanan kucing. Biasanya orang akan membeli 2-3 nasi kucing untuk memenuhi porsi makan normal.

Tak hanya nasi kucing, ada beragam jenis sate yang juga menjadi makanan kesukaan yang banyak dicoba oleh pembeli, seperti sate usus, date telur puyuh, sate ati ampela, dan lainnya.

Filosofi angkringanAngkringan memiliki filosofinya tersendiri. Tempat makan yang menyajikan hidangan istimewa kampung ini dinilai sebagai tempat yang egaliter.

Egaliter bermakna kesetaraan derajat sosial seseorang dengan yang lainnnya. Hal tersebut sesuai dengan keberadaan angkringan yang bisa disantap oleh orang dari kalangan apa saja.

Di angkringan, derajat sosial tak lagi diperlukan. Para pengunjung yang bahkan tak mengenal satu sama lain pun bisa saling berbincang tentang hal apapun.

(Resla Aknaita Chak)