Liputan6.com, Bandung - Setiap 17 Oktober di Indonesia, diperingati sebagai Hari Ulos Nasional. Peringatan ini memang belum banyak dikenal masyarakat luas, mengingat hari besar ini baru ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 2015 silam.
Baca Juga
Advertisement
Satu tahun sebelumnya, Kemdikbud menetapkan kain ulos sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia tepatnya pada 17 Oktober 2014.
Di Batak, khususnya kawasan Danau Toba, Samosir, Sumatera Utara, ulos merupakan simbol adat yang dinilai sakral dan tradisinya masih lestari. Ulos sangat penting digunakan oleh orang Batak untuk upacara adat, pernikahan hingga kematian.
Namun, meski ulos telah ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda nasional sejak 2014 dan sedang gencar dijadikan warisan budaya dunia melalui UNESCO, tak banyak yang tahu filosofi sebenarnya dari ulos.
Maka dari itu, sebaiknya kita mengenal fungsi dan makna dari ulos itu sendiri. Berikut Liputan6.com rangkum informasi terkait ulos yang dikutip dari berbagai sumber.
Mitologi Batak
Alkisah, nenek moyang Batak adalah seorang putri surga bernama Siboru Daek Parujar. Oleh Debata Mulajadi Nabolon dikawinkan dengan raja Odapodap, juga berasal dari surga. Dari perkawinan mereka lahir anak kembar bernama raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia (perempuan).
Kemudian berdua menikah dan melahirkan Raja Miok-miok, Patundal na begu dan Siaji lapas-lapas. Eng Banua mempunyai tiga anak bernama Si Raja Bonangbonang, Si Raja Atseh, dan Si Raja Jau.
Orang Batak adalah keturunan dewa. Hal itu bersumber dari mitologi Batak tentang Mulajadi Na Bolon adalah dewa sebagai pencipta orang Batak mula-mula, yang berpusat di desa mula-mula orang Batak bernama si Anjur mula-mula, terletak di kaki Gunung Pusuk Buhit (puncak bukit) di bagian barat Pulau Samosir.
Dari anak si Raja Bonang-bonang bernama Guru Tantan Debata, lahir anaknya bernama si Raja Batak, yang menjadi cikal bakal keturunan orang Batak. Anak si Raja Batak ada dua orang yaitu, Guru Tateabulan dan si Raja Isumbaon.
Dari kedua keturunan itu lahir marga-marga di tanah Batak sampai sekarang. Keturunan Guru Tateabulan muncul marga Lontung. Keturunan Raja Isumbaon muncul marga Sumba. Kedua kelompok merupakan induk marga Batak.
Selain itu, ada juga penciptaan orang Batak ibarat menenun ulos. Penjelasan ini menafsirkan bahwa asal mula orang Batak sama dengan ulos.
Kisah asal mula orang Batak yaitu, seorang pemintal menciptakan bumi. Ia membantu pemintal itu adalah Dewa Maha Tinggi, Asal mula dari segala asal mula, Mula Jadi na Bolon. Pemintalan benang memainkan peran kunci dalam penciptaan dan bumi bagaikan kain selesai ditenun.
Adapun asal mula pertenunan sebagai pekerjaan nenek moyang Batak. Konon si boru Deak Parujar, adalah seorang putri Bataraguru terus bertenun siang dan malam selama bertahun-tahun, pekerjaan tenunan tidak selesai. Hal ini ia lakukan untuk menghindari perkawinannya dengan si tuan ruma uhir, tuan ruma gorga, putra Mangalabulan.
Oleh karena itu mulajadi na bolon dan bataraguru menjadi sangat marah kepada si boru Deak Parujar, lalu merusak rumah tenunnya.
Sandra A Niessen, dalam bukunya Batak Cloth and Clothing. A Dynamic Indonesia Tradition,“ mendeskripsikan ulos adalah selembar kain tenunan khas Batak dengan pola dan ukuran tertentu di mana kedua ujungnya berjuntai panjang.
Kain ini awalnya berfungsi untuk melindungi tubuh dan selalu dikerjakan oleh perempuan dengan menggunakan kapas.
Ulos adalah pakaian sehari-hari bagi laki-laki dan perempuan-perempuan Batak. Perempuan Batak menggunakannya untuk menutup tubuh dari bagian dada sampai batas kaki dan bagi laki-laki Batak menggunakan untuk bagian pinggang sampai batas kaki. Cara membuat ulos adalah ditenun, dalam bahasa Batak adalah ulos.
Advertisement
Fungsi dan Makna
Pada mulanya, fungsi Ulos adalah untuk menghangatkan badan. Tetapi beberapa waktu ke belakang ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak.
Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap Ulos mempunyai makna sendiri-sendiri. Artinya, mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan berhubungan dengan hal atau benda tertentu.
Dalam pandangan suku kaum Batak ada tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan manusia, yaitu darah, napas, dan panas. Dua unsur pertama adalah pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian.
Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin di pemukiman suku bangsa Batak, lebih-lebih lagi di waktu malam. Menurut pandangan suku Batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos.
Ulos Ragihotang
Ulos Ragihotang diberikan pada saat pernikahan untuk penguat ikatan batin kedua mempelai.
Makna dari ragi atau corak, dan hotang adalah rotan. Ulos ini memiliki corak rotan. Pada saat pernikahan, ulos ini mengingatkan bahwa ikatan kedua pasangan akan kuat dan kokoh seperti rotan.
Masyarakat Batak dari zaman dulu merupakan masyarakat pegunungan, di mana hutan merupakan salah satu sumber mata pencaharian mereka. Rotan banyak dan mudah ditemukan di tanah Batak dan menjadi.alat pengingkat barang yang paling sering digunakan karena kekuatan dan ketahan dari rotan itu sendiri.
Sehingga rotan dijadikan corak pada kain ulos sebagai lambang dari ikatan yang kokoh dalam pernikahan.
Dalam sebuah kisah lama dalam sejarah penamaan “Batak”, rotan juga disebutkan dalam cerita sebagai tanaman yang membuat seorang pendatang memasuki hutan yang akhirnya menjadi tanah Batak.
Ulos Bintang Maratur
Di wilayah Samosir, ulos jenis ini diberikan kepada wanita yang sedang hamil 7 bulan. Dimaksudkan agar melancarkan proses kelahiran dan mendapat keturunan berikutnya.
Sedangkan, di derah lain diberikan kepada anak saudari perempuan pada saat pemberian nama. Dimaksudkan agar si penerima ulos patuh.dan menghormati orang.tua.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur, bermakna kepatuhan dan kerukunan dalam ikatan kekeluargaan.
Secara umum orang Batak sangat menghormati orang tua. Mereka mengatakan orang tua merupakan wali Tuhan di dunia. Maka corak bintang pada kain ini digambarkan secara sejajar dan rapi untuk menegaskan kepatuhan dan kerukunan dalam keluarga, terutama kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya.
Selanjutnya
Ulos Mangiring
Di wilayah Samosir, ulos ini diberikan kepada wanita yang sedang hamil 7 bulan. Diharapkan dapat melancarkan proses kelahiran dan kelahiran anak diiringi dengan anak selanjutnya.
Sementara, di daerah lain diberikan kepada anak pertama pada suatu keluarga baru (anak berumur minimal 2 minggu).
Bentuk dari ulos mangiring ini digambarkan secara beriringan untuk melambangkan kesepakatan bersama. Terutama dalam membentuk keluarga.
Ulos Suri-suri/Suri (Surina Ganjang)
Ulos ini merupakan ulos yang diwariskan turun temurun kepada anak cucu dalam keluarga Batak. Pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja atau tua-tua adat dalam acara tertentu. Disilangkan di dada dan ada juga menyelimuti dada.
Ulos ini harus memiliki 33 garis. Arti motif pada ulos ini sendiri mengartikan ciri khas orang Batak yang teguh dalam satu pendirian dan selalu menurun kepada anak cucunya.
Ulos Sibolang/Tujung/Saput
Ulos ini diberikan pada saat upacara dukacita. Orang dewasa yang meninggal tetapi belum punya cucu ketika diberikan dinamakan Ulos Saput. Laki-laki yang ditinggal istri maupun perempuan yang ditinggal suami ketika diberikan dinamakan Ulos Tujung. Pemberian itu dilakukan agar sabar.menghadapi kesulitan.
Masyarakat Batak sangat memegang teguh landasan Dalihan Na Tolu, di dalamnya keluarga merupakan hal utama.
Sehingga ketika seseorang ditinggalkan, orang tersebut akan merasakan kesedihan yang mendalam tetapi orang Batak akan tetap kuat dan sabar dalam menghadapi dukanya.
Corak runcing menghadap ke atas pada ulos ini melambangkan kalau orang Batak itu selalu menanggung semua bebannya dengan sabar dan begitu banyaknya perjalanan yang tajam ataupun pergumulan, dia selalu kuat menghadapi semua persoalannya dan terus memandang maju ke atas.
Ulos Sitoluntuho–Bolean
Ulos ini dipakai oleh raja-raja atau tua-tua adat zaman dahulu dan sudah sangat langka untuk ditemukan. Karena pembuatannya yang bisa sampai 2-3 bulan untuk satu ulos dan harganya yang cukup mahal, sehingga jarang ada yang memiliki ulos jenis ini pada zaman dahulu.
Ulos ini dipakai pada saat manortor (menari) di suatu upacara adat.
Kesuburan tanah dan faktor alam membuat orang Batak secara umum hidup dari hasil pertanian. Tuho adalah alat yang sering digunakan dalam bertani, sehingga pengembangan dari alat pelubang tanah ini menjadi inspirasi salah satu corak kain ulos.
Advertisement