Sukses

Batombe, Tradisi Lisan Berbalas Pantun Masyarakat Minangkabau

Batombe merupakan tradisi berbalas pantun masyarakat Minangkabau di Nagari Abai

Liputan6.com, Padang - Tradisi di Indonesia tak hanya berupa ritual maupun upacara adat, melainkan juga berupa tradisi lisan. Salah satu tradisi lisan yang saat ini masih terus dilestarikan adalah batombe.

Batombe merupakan tradisi berbalas pantun masyarakat Minangkabau di Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Tradisi ini merupakan hiburan pada pesta pernikahan (baralek).

Dilansir dari "Batombe: Warisan Budaya Bangsa dari Nagari Abai Provinsi Sumatera Barat" oleh Eva Krisna tertulis, batombe identik dan dilatarbelakangi oleh rumah gadang Nagari Abai yang unik, yakni rumah adat dengan ruangan panjang hingga 21 ruangan. Konon, sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah yang kini dikenal sebagai Nagari Abai ini masih sangat sunyi.

Perkampungan yang ditempati oleh masyarakat pun bahkan masih dikelilingi oleh hutan belantara. Rasa cemas dan was-was menyelimuti penduduk di perkampungan kala itu.

Sewaktu-waktu, hutan yang ada di sekitar mereka bisa saja menjadi ancaman karena di dalamnya hidup bermacam satwa liar, seperti harimau, babi hutan, dan ular. Selain itu, rumah tempat mereka berlindung juga belum memadai.

Untuk mengantisipasi hal tesebut, pemuka adat, tokoh agama, dan pemuka masyarakat pun melakukan musyawarah. Dari hasil musyawarah itu, diperoleh kesepakatan untuk membangun rumah adat milik masyarakat Minangkabau Nagari Abai yang kemudian dikenal dengan nama Rumah Gadang 21 Ruang.

Pantun-pantun batombe cenderung menyampaikan perasaan yang mendayu-dayu, sehingga para pedendangnya pun seringkali hanyut dalam suasana pertunjukan. Itulah sebabnya, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, seringkali batombe menyebabkan efek negatif bagi (kejiwaan) para pedendangnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Sambil Menari

Berbalas pantun dalam pertunjukan batombe umumnya dilakukan sambil menari. Isi pantunnya pun berupa nasihat orangtua kepada anak, etika pergaulan, percintaan, dan sebagainya.

Batombe biasanya dilakukan pada malam hingga pagi buta, yakni antara pukul 21.00 hingga pukul 04.00 di dalam rumah gadang. Para pemain batombe ini mengenakan pakaian khusus yang sepintas mirip pakaian pemain pencak silat (baju guntiang cino dan celana galembong tapak itiak).

Perbedaannya terletak pada bagian leher dan lengannya. Pakaian pedendang batombe memiliki bagian leher dan lengan panjang yang dihiasi dengan sulaman benang emas (benang makao), sedangkan pakaian pemain silat hanya polos dan berwarna hitam.

Warna pakaiannya pun bermacam-macam, ada yang berwarna merah, hijau, dan hitam. Tak lupa, pakaian ini dilengkapi ikat kepala berwarna kuning keemasan serta sehelai kain yang diikatkan di pinggang (sisampiang).

Adapun, tradisi lisan ini biasanya diiringi dengan irama musik yang gembira, yakni dengan alat musik berupa rebab, gendang, dan talempong. Ketiga alat musik tradisional itu digesek, ditabuh, dan dipukul dengan cepat mengikuti irama dendang dan tarian yang dibawakan oleh para pemain batombe.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak