Sukses

Tarung Sarung, Tradisi Ekstrem Bugis dan Makassar Junjung Harga Diri

Tradisi tarung sarung digunakan oleh masyarakat Bugis dan Makassar untuk menyelesaikan masalah atau pertikaian

Liputan6.com, Makassar - Tarung sarung merupakan salah satu tradisi ekstrem yang berkembang di dalam masyarakat Bugis dan Makassar. Dalam bahasa Bugis tradisi ini disebut sebagai Sigajang Laleng Lipa’, sedang dalam bahasa Makassar disebut sebagai Sitobo’ Lalang Lipa’.

Tradisi tarung sarung digunakan oleh masyarakat Bugis dan Makassar untuk menyelesaikan masalah atau pertikaian. Ketika ada pertikaian antara dua pihak dan keduanya menemui jalan buntu untuk berdamai, maka jalan terakhir adalah dengan cara bertarung.

Dikutip dari jurnal "Makna Tradisi Sigajang Laleng Lipa pada Masyarakat ‘Wara Barat’ Palopo, Sulawesi Selatan" oleh Gen Jawara Kresna Mukti dkk, masalah yang ada biasanya berkaitan langsung dengan rasa malu (siri') dan harga diri (pacce), seperti penghinaan, perselingkuhan, atau konflik antar keluarga yang berkepanjangan. Tarung sarung dilakukan dengan cara saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung.

Perkelahian ini akan dilakukan dua pria hingga keduanya sama-sama mati atau sama-sama hidup, atau salah satunya mati. Menariknya sangat jarang dalam ritual ini ada pihak yang mati atau hidup sendirian.

Sebelum duel dilakukan, kesepakatan dibangun antar kedua belah pihak bahwa apabila salah satunya meninggal. Maka pihak satunya tidak boleh menuntut atau dikenakan sanksi apa pun.

Tradisi tarung sarung membawa makna filosofi hidup orang Bugis yang menyangkut kehormatan diri yakni “narekko siri kuh mo'lejja-lejja, copponna mih kawalie ma'bicara”, yang artinya “jika kamu menginjak-injak rasa malu saya, maka ujung badik yang bertindak".

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Terang dan Tegas

Terang dan tegas tercermin dalam prinsip tersebut. Tatkala menyangkut rasa malu dan harga diri seseorang yang disinggung, maka darah dan nyawa pun adalah harga yang mesti dibayar.

“Siri‟ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Begitu sakralnya nilai itu, sehingga apabila seseorang kehilangan “Siri'”nya atau de'ni gaga siri'na (tidak ada lagi rasa malunya), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia.

Bahkan orang Bugis-Makassar menganggap kalau mereka itu “sirupai olo’ kolo’e” (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : “Siri’mi Narituo” (karena malu kita hidup).

Bagi orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’-nya, dan kalau mereka dipermalukan (Nipakasiri’/Ripakasiri’), mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’-nya dari pada hidup tanpa Siri’. Kini tradisi Sigajang laleng lipa' nyaris tak lagi ditemukan di tengah masyarakat Bugis-Makassar tatkala mereka dihadapkan dengan kebuntuan menyelesaikan sebuah masalah.

Sebagai upaya merawat tradisi, maka tradisi ini lebih banyak dipertunjukkan melalui seni. Dalam berbagai kesempatan, pertunjukkan tarung sarung juga dipentaskan bersamaan dengan cabang kesenian lainnya seperti pementasan tari, drama ataupun ritual bakar diri menggunakan obor.