Sukses

Menyemai Toleransi dan Kerukunan, Menepis Politik Identitas di Kota Bandung

Di balik gegap gempita pesta politik Pilkada atau Pilpres selalu ada kekhawatiran soal politik identitas.

Liputan6.com, Bandung - Ajang Pilkada atau Pilpres 2024 terus menghangat. Partai-partai politik giat merancang siasat, sedangkan sejumlah nama sudah berderet, disebut-sebut bakal turut "adu sikut" dalam gelanggang pemilihan. Sementara, di balik agenda politik itu, selalu tersimpan sebuah kekhawatiran bahwa hasrat sumir kekuasaan akan ditunaikan dengan cara-cara buruk sekalipun, semisal politik identitas.

Jaringan Kerja Antar Umat Beragama atau Jakatarub Bandung mengingatkan, masyarakat khususnya anak muda di Kota Bandung jangan gampang terpancing politik identitas yang bisa merusak kekerabatan dan keberagaman di masyarakat.

"Di samping politik uang dan politik dinasti, politik identitas juga jadi pekerjaan rumah, apalagi bagi kerja-kerja keberagaman," kata Koordinator Jakatarub, Arfi Pandu Dinata, dalam diskusi yang ditajuki Pemilu 2024: Mencegah Politik Identitas di Kota Bandung, disiarkan melalui kanal Suara Setara, (24/10/2022).

Dari kajian Jakatarub, aku Afri, mereka mensinyalir adanya gerakan kelompok-kelompok tertentu yang kerap intoleran, meski belum secara langsung mengarah pada kegiatan politik praktis, tapi massanya berpeluang digunakan atau dikerahkan untuk kepentingan politik identitas.

"kita belakangan melakukan pencatatan internal apa yang terjadi di Bandung untuk iklim politik ini," katanya. Potensi politik identitas itu dinilai perlu diwaspadai dan diredam.

 

2 dari 2 halaman

Promosi Toleransi, Menyulam Kerukunan

Meski riak politik identitas menuju 2024 belum begitu kentara, tapi potensi itu diakui ada. Kekhawatiran dan kerentanan ini tak bisa diremehkan ketika Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat intoleransi yang juga tinggi.

Merujuk laporan Setara Institut soal kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia tahun 2021, Jawa Barat berada di posisi wahid dengan pelanggaran KBB yakni 40 kasus, selalu tertinggi sejak 2007.

Menurut Arfi, promosi toleransi dan pendidikan perdamaian jadi krusial dalam menangkal politik identitas. Upaya ini bisa dimulai secara sederhana dengan membuka ruang perjumpaan dengan individu atau kelompok yang memiliki perbedaan identitas.

"Kita itu majemuk, memiliki identitas yang beragam, gender, kesukuan, agama keyakinan, pekerjaan, dan lainnya, identitas kita tidak tunggal," tuturnya.

Ruang perjumpaan tersebut, bisa dilakukan dengan sekadar berdiskusi atau mengadakan kegiatan bersama antar simpul yang sudah aktif dalam kerja-kerja keberagaman, khalayak umum, penyelenggara daerah, bahkan menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok yang cenderung konservatif.

Ruang perjumpaan diharapkan bisa memperkaya pengalaman keberagaman setiap kelompok atau individu lewat penghayatan langsung. Jika toleransi itu terawat, maka kerukunan dan perdamaian pun diyakini bakal tumbuh dan menjadi pagar atas ancaman politik identitas.

"Orang berduyun-duyun datang untuk bersekolah, bisnis, juga wisata. aku kira berbagai etnis, agama keyakinan itu ada di Bandung," kata Arfi. "Bandung itu tidak milik satu kelompok," imbuhnya.