Sukses

Pergeseran Debus Banten, Ini Bedanya Dulu dan Sekarang

Pengertian mengenai debus sangat bervariasi

Liputan6.com, Banten - Sebagai suatu produk budaya, kesenian debus merefleksikan kompleksitas manusia. Dalam kesenian debus, terdapat kepentingan sosial, politik, hingga nilai-nilai religi.

Dilansir dari 'Debus Banten: Pergeseran Otentisitas dan Negosiasi Islam-Budaya Lokal' oleh Kiki Muhamad Hakiki, debus merupakan kesenian yang ada di Banten. Pengertian mengenai debus sangat bervariasi, di antaranya ada yang berpendapat bahwa istilah debus berasal dari bahasa Arab 'dabbas' yang berarti sepotong besi runcing yang dianalogikan dengan jarum.

Ada pula yang berpendapat istilah debus berasal dari kata sebuah benda, yaitu 'al madad', yang artinya besi runcing seperti paku besar. Tak hanya itu, ada juga yang mengatakan bahwa debus berasal dari bahasa Persia yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan 'tusukan'.

Sejak kemunculannya, debus merupakan sebuah alat atau media yang digunakan sang sultan (raja) untuk menandingi kesaktiannya oleh para elite kerajaan Sunda atau Padjajaran. Selain itu, kesenian debus juga dijadikan sebagai media dakwah atau syi’ar Islam.

Disebutkan bahwa pada zaman kesultanan Banten dahulu, debus hanya diatraksikan di masjid-masjid atau alun-alun kerajaan. Masyarakat yang ingin menonton pertunjukan ini, diharuskan membayar karcis dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hal tersebut membuktikan bahwa debus tempo dulu murni bertujuan sebagai syi’ar keagamaan. Beberapa proses tersebut dimulai pada zaman Sultan Hasanuddīn, yang pada saat itu pemegang tampuk kekuasaan pada Kesultanan Banten pada tahun 1570 Masehi.

Dalam perkembangannya, kesenian debus mengalami pasang surut, khususnya ketika berhadapan dengan perkembangan zaman dan nilai kelokalan. Kesenian ini tampaknya sudah mengalami pergeseran dan perubahan karena harus menyesuaikan diri agar tak ketinggalan zaman.

Kesenian debus saat ini sudah mengalami modifikasi yang ditunjukkan dengan banyaknya hal-hal yang tak pernah dipraktikkan pada debus tempo dulu. Saat ini, debus telah lepas dari asalnya, yakni tarekat.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Ritual

Pergeseran tersebut dapat terlihat dari segi ritual, gaya pertunjukan, pola perekrutan personel, serta tujuan yang ingin dicapai. Pergeseran dari segi ritual dapat dilihat dari pembacaan wirid yang awalnya dimaksudkan untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, kini bergeser menjadi bacaan yang semata-mata hanya untuk 'ngilmu'.

Selain itu, ada juga tawasul atau pembacaan silsilah. Awalnya, tawasul dimaksudkan untuk menunjukkan transmisi keilmuan sekaligus upaya untuk meminta pertolongan kepada para Syaikh terdahulu untuk disampaikan maksudnya kepada Allah SWT.

Namun, tawasul dalam kesenian debus pada masa kini telah sedikit bergeser orientasinya. Meski pembacaan rangkaian silsilah terhadap gurunya tetap dilakukan, tetapi para pemain debus kerap kali melakukan silsilah lain yang disebut dengan sambatan. Sambatan yang dimaksud adalah meminta bantuan dari makhluk lain, seperti jin atau lainnya.

Adapun istilah jangjawokan juga muncul di kesenian debus setelah melakui akulturasi budaya. Jangjawokan adalah bacaan-bacaan lokal yang diyakini mempunyai kekuatan luar biasa yang apabila diamalkan atau dirutinkan akan membuat si pemain debus mempunyai kemampuan yang luar biasa.

Berbeda dengan wirid dalam tarekat yang berbahasa Arab, jangjawokan menggunakan bahasa Jawa atau Sunda yang terkadang maknanya sudah tidak dapat dipahami, sekalipun oleh orang yang mengamalkan.

Selain jangjawokan, debus masa kini juga dihiasi dengan permainan silat, musik pengiring, serta atraksi debus. Ketiga hal ini tak terlihat dalam debus masa lampau.

Debus tempo dulu tak mengenal permainan silat dan iringan musik. Debus tempo dulu hanya menggunakan iringan pembacaan salawat Nabi ketika pertunjukan debus dimulai.

Atraksi debus saat ini juga terbilang semakin ekstrem. Pertunjukan debus saat ini sudah bercampur dengan berbagai trik atau sulap pertunjukan.

Debus saat ini dihiasi dengan berbagai atraksi ekstrem, seperti mengupas kelapa dengan mulut, kelelawar yang keluar dari mulut, memakan pecahan kaca (beling), dan lainnya. Semua hal ekstrem tersebut dilakukan demi menambah nilai hiburan semata.

Kini, kesenian debus cenderung digunakan sebagai alat hiburan masyarakat atau menjadi komoditas pariwisata saja. Perlahan, debus tak lagi menjadi produk budaya yang mengandung nilai keagamaan.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak