Liputan6.com, Jakarta - Kondisi ekonomi dunia sedang berada di tengah-tengah ancaman resesi akibat pandemi Covid-19, serta adanya krisis keuangan, pangan, dan energi global usai pecahnya perang Rusia-Ukraina. Meskipun begitu, Indonesia diperkirakan tidak akan masuk ke dalam daftar negara yang terancam resesi.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pemulihan ekonomi Indonesia usai Pandemi Covid-19 masih terpantau aman dengan ditopang oleh sektor ekspor dan pulihnya konsumsi serta investasi dalam negeri. Kondisi ekonomi Indonesia disebut masih tangguh, dengan pertumbuhan ekonomi Kuartal III diprediksi akan melebihi pertumbuhan ekonomi Kuartal II yang berada di angka 5,7 persen.
Advertisement
Baca Juga
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mirza Adityaswara, menyebutkan, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, pemerintah turut dibantu oleh Otoritas Jasa Keuangan. OJK memiliki tugas untuk mengawasi industri jasa keuangan seperti bank, perusahaan sekuritas, reksa dana, asuransi dan sebagainya agar dapat berjalan dengan stabil.
“Saat ini, sistem keuangan di Indonesia masih terpantau stabil, terbukti dengan nilai permodalan bank sebesar 25 persen dari rata-rata 14 persen. Selain itu, nilai profit return on asset (ROA) perbankan Indonesia ada di angka 2,37 persen. Untuk bank memiliki ROA di atas 1,5 persen itu sangat sulit. Maka dari itu, dengan angka tersebut perbankan Indonesia terbukti masih profitable,” jelasnya di kegiatan OJK Mengajar, Jumat (4/11/2022).
Kegiatan OJK Mengajar menjadi bagian dari mata kuliah Cipta Karsa di Universitas Pertamina. Mata kuliah ini khusus menghadirkan pembicara dari kalangan industri, guna lebih mendekatkan mahasiswa pada kondisi riil di masyarakat.
Sementara itu narasumber lain, Dewi Hanggraeni, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina, menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dinilai masih baik tidak menutup kemungkinan terjadinya risiko.
“Di era VUCA, khususnya dalam sektor ekonomi tentu membuat mayoritas bisnis relatif tidak stabil. Misalnya, harga minyak dunia yang meroket dan krisis pangan membuat beberapa bisnis gugur, namun ada juga yang bertahan. Untuk mengatasi ketidakstabilan ini, kita sebagai pelaku ekonomi perlu melihat jauh ke depan. Kira-kira risiko apa saja yang bisa muncul di masa depan,” jelas Dewi.
Ia menambahkan, salah satu yang bisa dilakukan para pegiat industri jasa keuangan adalah dengan mulai mengimplementasikan GRC. Yakni pengoptimalan tata kelola perusahaan (governance), manajemen risiko (risk management), serta kepatuhan terhadap segala regulasi (compliance).
“Untuk dapat menjalankan GRC dengan baik, diperlukan dukungan penuh dari segala elemen di dalam industri, mulai dari pimpinan hingga staf. Namun, contoh komitmen dari pimpinan adalah hal yang paling penting agar para stafnya dapat mengikuti,” tambah Dewi.
Survei Nasional Manajemen Risiko yang dilaksanakan Center for Risk Management and Sustainability (CRMS) pada 2019 menunjukkan bahwa sebanyak 76 persen perusahaan di Indonesia sudah menerapkan manajemen risiko dengan baik. Melalui survei yang sama, diketahui juga penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan performa keuangan sebesar 20 persen secara keseluruhan.