Sukses

Kisah Mahmoed Marzuki, 'Harimau Kampar' Pengibar Merah Putih di Lapangan Merdeka

10 November dikenang sebagai Hari Pahlawan. Di Kabupaten Kampar ada pahlawan daerah bernama Mahmoed Marzuki yang sudah beberapa kali diajukan sebagai pahlawan nasional.

Liputan6.com, Pekanbaru - Tahun ini, Pemerintah Provinsi Riau mengusulkan dua nama menjadi pahlawan nasional ke Pemerintah Pusat. Yang pertama adalah Marhum Pekan sebagai pendiri Kota Pekanbaru dan Mahmoed Marzuki, pahlawan kemerdekaan dari Kabupaten Kampar.

Menjelang Hari Pahlawan Nasional, kedua nama tokoh Riau itu belum mendapatkan penetapan. Mudah-mudahan ada angin segar karena Riau sudah lama membentuk tim penelitian atas jasa Marhum Pekan dan Mahmoed Marzuki terhadap kemerdekaan.

Pengajuan Mahmoed Marzuki sebagai pahlawan nasional sudah beberapa kali diajukan. Tim peneliti masih merevisi sejumlah berkas agar mendapatkan kabar positif dari Pemerintah Pusat.

Terlepas dari itu, Liputan6.com mencoba mengangkat kisah kepahlawanan Mahmoed Marzuki. Sebagai narasumber adalah sejarawan dari Riau, Prof Dr Suwardi MS.

Suwardi menceritakan, perawakan Mahmoed Marzuki biasa saja. Tidak terlalu tinggi, tak juga tegap.

Terlepas dari itu, suara lantangnya mampu mengobarkan semangat puluhan pemuda di Bangkinang, Kabupaten Kampar, untuk tidak takut mengibarkan Merah Putih.

Bersama pemuda lainnya, Mahmoed Marzuki dengan langkah pasti masuk ke lapangan Controleur Bangkinang (kini Lapangan Merdeka). Penghormatan kepada bendera Indonesia dilakukannya, diikuti puluhan pemuda lainnya.

Ketakutan tentu saja membayangi karena tentara Sekutu dan Jepang masih berkeliaran di Bangkinang. Namun semuanya tertutupi semangat nasionalisme pada 11 September 1945 itu.

Tanggal tersebut memang terlalu telat karena kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 2022. Hal itu wajar karena kabar Indonesia merdeka baru sampai melalui telegram kepada Mahmoed Marzuki pada 5 September 1945.

"Awalnya (pengibaran bendera) direncanakan pada 9 September 1945 karena kondisi masih mencekam di Riau, sekutu belum mengakui kemerdekaan dan berniat membantu Belanda menjajah lagi," jelas Suwardi.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Kebanggaan Buya Hamka

Pembahasan pengibaran bendera memang cukup alot. Kongres yang digelar di daerah Muara Jalai masih membuat masyarakat masih takut. Namun dengan sigap pria berjuluk 'Harimau Kampar' itu berdiri dengan suara lantang agar masyarakat tidak takut.

"Kafir penjajah harus segera diusir, tidak boleh takut di negeri sendiri. Nyawalah untuk kemerdekaan ini," ucap Mahmoed Marzuki yang seketika membakar semangat pemuda kala itu.

Mahmoed Marzuki lahir di Kampar pada tahun 1911. Ragam pendidikan dienyamnya, bahkan sampai ke Aligarh Muslim University India. Sebagai tokoh Muhammadiyah di Riau, dia mulai aktif menyuarakan perlawanan dari sekolah-sekolah yang diajarnya.

"Sekarang masih ada sekolah yang didirikannya dulu, Mualimin di Bangkinang," sebut Suwardi.

Tak hanya guru, tukang pangkas pernah juga dilakoninya di Selat Panjang pada tahun 1934. Perjuangannya juga sampai ke Sumatera Barat sehingga menjadi kebanggaan Buya Hamka.

"Beliau adalah seorang orator terkenal. Buya Hamka saja mengaguminya," kata sejarawan lainnya, Abdul Latif Hasyim yang bersama Suwardi meneliti tentang jejak sejarah Mahmoed Marzuki.

Kekaguman Buya Hamka ini, jelas Latif, terbukti ketika tokoh pejuang asal Sumatera Barat itu selalu berpidato. Nama Mahmoed Marzuki selalu disebut Buya Hamka dan menjadi kebanggaannya.

Menurut Latif, ada dua pejuang yang selalu disebut Buya Hamka. Selain Mahmoed, ada pula nama Kasman Singodimedjo (Pahlawan asal Purworejo).

"Kedua nama ini, adalah tokoh muda saat itu yang dibanggakan oleh Buya Hamka. Bangga dengan semangat juang, dan ilmu keagamaan yang dimilikinya. Dua nama ini selalu disebut saat berpidato di Sumatera ini," jelas budayawan asal Kampar ini.

3 dari 4 halaman

Pejuang Harimau Kampar

Di Riau, Kampar khususnya, Mahmoed Marzuki membentuk semacam pergerakan pejuang. Anggotanya tergabung dalam "Harimau Kampar".

Mahmoed Marzuki hanya setahun bisa menikmati kemerdekaan Indonesia. Dia gugur karena penyakit yang dialami pada 5 Agustus 1946. Penyakit itu akibat siksaan ketika tertangkap Sekutu usai pengibaran bendera.

Menurut sejarawan Suwardi, awal mula tertangkap Mahmoed Marzuki dikenal dengan istilah insiden durian di Danau Bingkuang. Kala itu, tentara Jepang yang masih berada di Riau usai menyerah pada Sekutu dibunuh oleh Pemuda Keamanan Rakyat.

"Jadi tentara Jepang ini dihadang pemuda ketika maka durian," jelas Suwardi.

Jepang menuduh Mahmoed sebagai dalang karena begitu getol mengusir penjajah dan sebagai aktor pengibaran bendera. Mahmoed yang mengadakan rapat Komite Nasional Indonesia dijemput serdadu Jepang bersenjata lengkap.

Lokasi rapatnya dikepung. Sejumlah rakyat Indonesia ditembaki agar Mahmoed menyerahkan diri. Dengan pertimbangan agar tidak ada jatuh korban lagi, dia menyerah bersama beberapa pemuda lainnya.

"Lalu dibawa ke Pekanbaru, ditahan selama 23 hari. Tahu sendiri kalau penjajah Jepang menyiksa, Mahmoed Marzuki tidak sadarkan diri karena luka," sebut Suwardi.

 

4 dari 4 halaman

Mulai Sakit-sakitan

Setelah ada perundingan antara Indonesia dengan Sekutu dan Jepang, Mahmoed Marzuki dan pemuda lainnya dilepaskan. Dia pulang lagi ke Kampar dengan kondisi sakit-sakitan.

Dengan kondisinya itu, Mahmoed Marzuki tetap berjuang. Jalannya sudah tidak pakai senjata lagi, melainkan mendirikan beberapa sekolah dengan harapan kelak pemuda bisa mengisi kemerdekaan.

Selama ini, sebut Suwardi, pihaknya bersama peniliti lainnya sudah mengajukan Mahmoed Marzuki sebagai pahlawan nasional. Sudah lima kali diajukan, pemerintah mulai memberi sinyal positif.

"Draf yang diajukan harus direvisi, ini lagi dikerjakan. Mudah-mudahan bisa diakui sebagai pahlawan nasional," harap Suwardi.

Video Terkini