Sukses

Dari Limbah Tempurung Kelapa, Mama Yane Ubah Musibah Jadi Berkah untuk Tanah Papua

Kobek yang berarti kelapa dalam bahasa Biak. Milenial Papua yang juga berarti era milenial saat ini diyakini dapat membuat lebih semangat dalam apa pun.

Liputan6.com, Jayapura - "Pandemi membuat usaha kami hancur". Mama Yane Nari menghela napas panjang. Kedua tangannya menutup mukanya, tak kuasa membayangkan keterpurukan usaha yang sedang dirintis dengan label Kobek Milenial Papua. Usaha yang menjanjikan dari limbah sampah tempurung kelapa.

Kobek yang berarti kelapa dalam bahasa Biak. Milenial Papua yang juga berarti era milenial saat ini diyakini dapat membuat lebih semangat dalam apapun.

Usaha Mama Yane baru saja berkembang 2018-2019. Banyak pesanan yang ia terima, termasuk tawaran mengikuti pameran UMKM yang datang silih berganti, di dalam kota maupun di luar Papua. Kobek Milenial Papua tak pernah absen pada setiap gelaran UMKM.  

Namun, ia tak pernah membayangkan pandemi COVID-19 membuat usaha yang sedang dirintisnya lambat laun terpuruk. Tak ada lagi pesanan kerajinan tangan dari limbah tempurung hingga undangan mengikuti pameran UMKM menghampiri Kobek Milenial Papua. 

Pandemi COVID-19 mulai melanda tanah Papua sekitar Maret-April 2020. Kala itu, banyak event besar di Papua yang ditunda, mulai dari Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2020 hingga sejumlah festival budaya yang kerap disandingkan dengan pagelaran kuliner dan UMKM. 

Pandemi COVID-19 membuat kegiatan tatap muka dan bertemu langsung antara manusia satu dan lainnya dibatasi bahkan dihentikan. Hal ini pun membuat hati Mama Yane sedih, karena banyaknya event UMKM dihentikan bahkan dibatalkan, otomatis membuat hasil karyanya dari limbah tempurung sulit dijual dan dikenal banyak orang.

Pandemi COVID-19 juga menghentikan suara bising mesin penghalus tempurung kelapa yang selalu terdengar di rumah produksi Kobek Milenial Papua yang berada di samping rumahnya di Jalan Dok 8 Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura Provinsi Papua. Padahal, sebelum COVID-19 melanda, mesin itu kerap terdengar setiap hari di sekeliling rumahnya. 

"Tapi, sa (saya) tra (tidak) menyerah. Harus bangkit dan sa yakin bisa," kata Mama Yane, perempuan 58 tahun ini, optimis.

Benar saja, tekadnya bulat. Dengan modal lima mesin penghalus tempurung kelapa pemberian Pertamina MOR VIII, perempuan asli dari Kabupaten Biak Numfor ini mencoba bangkit membuat sejumlah kerajinan tangan dari limbah tempurung kelapa.

"Apa saja sa buat, mulai dari gantungan kunci, perkakas untuk makan dan minum-gelas, piring, mangkok, anting-anting, jepit rambut sampai hiasan lampu, dan pajangan rumah lainnya," dia mengatakan.

"Sa hanya punya lapak kecil di dekat pangkalan ojek Dok 8. Sambil menjual pinang, sesekali sa tampilkan tempurung ini (kerajinan tempurung). Caranya hanya seperti itu saja. Puji Tuhan, jika dagangan kreasi tempurung ini dibeli. Kalau tidak, ya kembali dibawa pulang dan dijual lagi keesokan harinya, rutin seperti itu," kata Mama Yane yang memiliki 4 anak perempuan dan 2 orang cucu.

2 dari 4 halaman

Menggeluti Limbah Sampah

Lebih dari 20 tahun, Mama Yane tak pernah lepas dari limbah sampah, mulai dari limbah sampah kertas, plastik hingga limbah tempurung kelapa.

Limbah dari tempurung kelapa, ia daur ulang menjadi sejumlah kerajinan tangan. Mama Yane senang hati mengerjakan kerajinan itu. Dalam mengerjakan hasil kreatifnya dibantu oleh 5 orang yang terdiri dari sanak keluarganya.

"Kerajinan tangan ini mulai dijual dari harga Rp5.000 hingga Rp5 jutaan," kata Mama Yane yang ditemui di rumah produksinya, Minggu (4/11/2022).

Ia mengakui awal membuat kerajinan dari tempurung kelapa dilakukan secara manual bersama sang suami. "Dulu itu, menghaluskan tempurung kelapa pakai pecahan kaca dalam waktu dua minggu baru bisa mendapat 1 buah tempurung. Susah sekali saat itu," Mama Yane mengenang perjuangan awalnya menggeluti kreativitas dari limbah tempurung.

3 dari 4 halaman

Dilirik Pertamina

Kerja keras tak pernah mengkhianati hasil. Itulah kata bijak yang selalu dipegang oleh Mama Yane. Karena kerja keras, Pertamina MOR VIII melirik usaha rumahan miliknya. 

Mama Yane berkisah awalnya Pertamina melirik kerajinan tangannya sebelum pandemi, sekitar pertengahan 2019. Saat itu, Mama Yane dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai karyawan Pertamina dari Jakarta. 

Singkat cerita, orang tersebut bertemu di tempat Mama Yane menjual hasil karyanya dan keesokan harinya, Mama Yane langsung ditawari untuk pergi ke Yogyakarta menimba ilmu tentang limbah tempurung kelapa.

"Satu minggu saya mempelajari seluk beluk tentang kerajinan tempurung kelapa dan setelah itu saya kembali pulang hingga hari ini masih menggeluti kerajinan itu," jelas Yane.

Pulang dari Yogyakarta, Pertamina juga membuatkan Yane rumah produksi kerajinan tempurung kelapa yang dilengkapi 5 unit mesin untuk membuat kreativitas dari tempurung.

Setelah memiliki banyak ilmu dari Yogya, Mama Yane mengajarkan kepada kerabat dan tetangga di sekitar rumahnya untuk memulai kerajinan ini. 

"Ibu-ibu yang tak punya kesibukan, seperti biasa bisa kapan saja ke rumah produksi untuk membuat kerajinan atau bekerja dalam kelompok kami," jelas Yane.

4 dari 4 halaman

Gandeng Tukang Ojek dan Anak Muda

Mama Yane membuktikan hasil kerjanya. Saat PON Papua akan dilaksanakan, Kobek Milenial Papua diajak oleh pemerintah Kota Jayapura untuk menampilkan hasil karyanya. Bahkan, Kobek Milenial mendapatkan stand khusus untuk menampilkan hasil karya tersebut.

"Saat PON itu pandemi sedang tinggi. Namun, pemerintah melaksanakannya dengan protokol kesehatan yang cukup ketat," jelasnya.

Hal inilah yang membuat dirinya sedikit bernapas lega, karena walaupun di tengah pandemi, limbah tempurung masih terjual.

Untuk membuat sejumlah pesanan PON, Mama Yane melibatkan anak-anak muda di sekitar rumahnya, termasuk dengan tukang ojek.

"Saya mengajak mereka, salah satunya juga untuk membuat kesibukan lain dan terhindar dari pengaruh buruk, miras dan narkoba," katanya.

Hasilnya, saat ini ada 15-an anak muda dan tukang ojek yang masih membantu Mama Yane dalam membuat hasil karyanya dari tempurung kelapa. 

"Saat ini, para anak muda mengerjakan pesanan Dompet Dhuafa sebanyak 1.000 gantungan kunci berbentuk love,”  kata Mama Yane.

Bukan Mama Yane kalau mudah berputus asa. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu menciptakan lapangan kerja dengan usaha yang digelutinya, termasuk di tengah pandemi COVID-19.

Silas Fautngil (23), salah satu anggota dari rumah produksi Kobek Milenial Papua melihat perjuangan Mama Yane terus membuahkan hasil. Sosok Mama Yane, bagi dirinya adalah seorang perempuan yang gigih berjuang dan tak pernah putus asa. Berbagai pameran, bahkan pelatihan UMKM banyak datang kepada kelompok ini.

"Mama itu petarung dan ia selalu kerja keras untuk berusaha hingga mendapatkan hasil yang ingin dicapai. Kalau mau disebut, mama itu ya seorang pahlawan bagi kami dan orang-orang sekelilingnya. Ia mengajarkan banyak hal, terutama memanfaatkan limbah sampah jadi barang bernilai untuk peningkatan kebutuhan hidup," ujarnya.

Silas yang telah ikut Mama Yane belasan tahun lalu mengaku setiap mendapatkan upah kerja, selalu diingatkan untuk tetap bisa menabung. "Seberapa pun hasilnya, mama ingatkan kami dalam kelompok itu untuk menabung," jelasnya.

Mama Yane mengaku berkat pandemi COVID-19, ia bisa menjual hasil dagangannya lewat daring dengan label Kobek Milenial Papua.

"Ternyata, pandemi COVID-19 tak membuat semua berakhir buruk. Justru banyak pelajaran yang bisa kami dapatkan," Mam Yane tersenyum puas.