Liputan6.com, Palembang - Kudapan khas Sumatera Selatan (Sumsel), pempek Palembang, sering disebut-sebut sebagai salah satu kuliner peninggalan warga Tionghoa, yang dari masa lalu pernah hijrah dan menetap di Bumi Sriwijaya.
Karena bernama pempek, banyak yang mengaitkan dengan sebutan orang Tionghoa yakni apek. Sehingga informasi yang beredar, jika pempek Palembang berasal dari buah tangan dari warga Tionghoa, yang bermukim di Sumsel, khususnya Kota Palembang.
Budayawan Sumsel Vebri Al Lintani langsung meluruskan sejarah asal muasal pempek Palembang ada di Sumsel.
Advertisement
Diakuinya, sebutan ‘apek’ bagi warga Tionghoa memang tak bisa lepas dari kehadiran pempek Palembang. Namun hal tersebut hanya berkaitan dengan nama yang disematkan saja.
Baca Juga
“Pada awalnya, pempek Palembang disebut dengan telesan. Sudah ada sejak dulu kala, walau namanya saja yang berbeda. Pempek Palembang dibuat oleh warga asli Sumsel dari zaman dulu,” ucapnya kepada Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).
Sekitar abad ke-20 atau 1916-an, ada orang yang berjualan pempek Palembang atau telesan, di sekitar kawasan Masjid Agung Palembang, atau dulu disebut daerah Guguk Pegulon. Di sana, ramai aktivitas mengajar ilmu Islam, terutama pengajian rutin.
Lalu, ada penjual telesan yang merupakan warga Tionghoa yang sering melintas di sana, menjajakan beragam jenis pempek Palembang. Karena sering dipanggil ‘Apek’, maka lama kelamaan nama telesan berubah menjadi pempek.
“Kalau dulu, warga Palembang buat telesan itu untuk dikonsumsi sendiri saja, bukan untuk dijual. Warga Tionghoa pendatang inilah, yang menjualnya ke masyarakat umum. Jadi makanya dikenal dengan nama baru yakni pempek,” katanya.
Banyaknya ikan-ikan di Sungai Musi Palembang juga, yang membuat keberadaan pempek Palembang atau telesan sudah dari zaman dahulu kala. Karena saat itu, jumlah ikan di Sungai Musi begitu berlimpah, sehingga diolah oleh warga Palembang menjadi aneka makanan.
Salah satu bahan baku pempek Palembang, yakni tepung sagu, juga sudah ada sejak abad ke-7. Karena dulunya, Raja Sriwijaya Dapunta Hyang sudah menanam pohon sagu, sekitar 684 Masehi di areal Prasasti Talang Tuo Palembang.
“Menurut prasasti, Dapunta Hyang juga menanam pohon aren, kelapa, pinang dan tumbuhan lainnya yang bermanfaat untuk makhluk hidup. Dulu namanya sagu palem, sekarang disebut tepung sagu tapioka,” katanya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dapunta Hyang
Kreativitas warga Palembang juga dalam mengolah berbagai bahan juga, sempat diakui oleh penjajah Belanda, berdasarkan buku catatan tahun 1821, yang kini sudah disimpan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang.
Dalam buku tersebut, penjajah Belanda mengakui jika warga Palembang itu cerdas, kreatif dan inovatif. Apalagi bisa meniru barang-barang yang dikirim dari Eropa, dengan kualitas yang lebih baik.
Salah satu daerah bernama Kepandean di kawasan Sayangan Palembang juga, menjadi lokasi kerajinan warga Palembang, yang disanjung-sanjung penjajah Belanda.
“Dulu di sana terkenal dengan orang-orang pandai emas, pandai perak, pandai anyam, pandai besi, pandai kayu, semua orang kreatif di sana, saat masa Kesultanan Palembang Darussalam,” ucapnya.
Advertisement