Sukses

Korban Tragedi Sp KKA Tolak Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Non-yudisial

Presiden Jokowi menelurkan Keppres No 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

Liputan6.com, Aceh - Korban tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), di bawah Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Sp. KKA (FK3T-SP KKA), menolak beleid pemerintah yang membentuk tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM masa lalu melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022.

Seperti diketahui, keppres yang ditandatangani oleh Joko Widodo pada 26 Agustus itu mengatur tentang pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu.

Tim yang bertugas untuk pelaksanaan keppres ini akan melakukan pengungkapan dan menyelesaikan secara nonyudisial, merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarganya, dan merekomendasikan langkah-langkah pencegahan terjadinya pelanggaran HAM ke depan.

FK3T-SP KKA menilai bahwa keppres ini terindikasi melanggengkan impunitas dan hanya dalih di balik aksi cuci tangan negara. Forum ini mengatakan bahwa semestinya peristiwa kekerasan militer terhadap warga sipil di SP. KKA di Aceh yang telah masuk ke dalam daftar pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc.

”Keppres ini tidak tepat dan tidak berkenan di hati kami. Andai pun pemerintah ingin melakukan reparasi (pemulihan) terhadap korban dan keluarga korban silakan saja, tetapi tidak harus direalisasikan melalui keppres," kata salah satu korban Sp. KKA, Safri Ilyas, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Kamis (16/11/2022).

Sementara itu, korban lainnya, Murtala, menilai bahwa mekanisme nonyudisial tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang mengikat dan berkeadilan untuk para korban dan keluarganya.

"Apabila (kepres) kami terima nanti, kami takut akan dikhianati, kami takut pemerintah tidak berniat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh melalui Pengadilan HAM Ad Hoc," tegas Murtala.

 

2 dari 2 halaman

Sangat Politis serta Berpotensi Melanggengkan Impunitas

Keppres yang ditelurkan di era Jokowi itu dinilai Murtala sangat politis dan subjektif dan terkesan hanya menyinggung soal korban sementara para pelaku tidak tersentuh sama sekali.

Keppres ini dinilai berpotensi menguburkan fakta pelanggaran HAM berat masa lalu yang notabene telah ditetapkan oleh Komnas HAM namun prosesnya tersendat di Kejaksaan Agung dengan bermacam dalih dan alasan sehingga ditindaklanjuti ke pengadilan.

FK3T-SP. KKA meminta presiden untuk memerintahkan Jaksa Agung agar segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM masa lalu.

"Bagi FK3T-SP.KKA, ini sangat miris ketika seharusnya kita menata masa depan tetapi malah disibukkan dengan persoalan-persoalan masa lalu yang tak kunjung diselesaikan secara bermartabat." pungkas Murtala.

Seirama dengan pertanyaan tersebut, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan bahwa Keppres No. 17 Tahun 2022 ibarat hasil penantian yang sia-sia bagi korban dan keluarga mereka.

"Puluhan tahun menunggu,  bukannya pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan serta pemulihan yang didapat, korban malah dihadapkan dengan beleid yang sama tidak merepresentasikan penegakan terhadap HAM," tegas Husna, kepada Liputan6.com, Kamis (17/11/2022).

Husna menambahkan bahwa keppres ini secara gamblang telah menunjukkan bahwa negara tidak berniat serius dalam mengantarkan keadilan kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.

"Kenapa cuma kata pengungkapan yang tertera dalam keppres itu? Seharusnya, ia digandeng dengan kata kebenaran. Sehingga, menjadi pengungkapan kebenaran," ujar Husna.

Menurutnya, keppres ini juga berpotensi melanggengkan impunitas karena hanya berorientasi pada peristiwa dan kerugian korban sementara di saat yang sama tidak menyentuh pelakunya sama sekali.

"Padahal, pelanggaran HAM berat bukanlah kasus tabrak lari. Di sana terdapat korban dan negara sebagai pelakunya," cetus dia.

Lalu, tambah dia lalu, keppres tersebut tidak secara tegas menyebutkan adanya pemulihan mental-psikososial kepada korban.

"Masa kerjanya juga amat singkat. Ini belum lagi perihal keamanan korban serta bagaimana dapat dipastikan adanya jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa depan sementara segala aturan yang telah dibuat selama ini saja pun dilanggar," pungkasnya.