Sukses

Walhi Riau Sebut KTT G20 Bali Hanya Tawarkan Solusi Palsu Krisis Iklim Global

Walhi Riau meminta forum G20 dan COP-27 menghentikan tawaran solusi palsu guna mengatasi krisis iklim karena tidak menaruh aspek keadilan bagi rakyat.

Liputan6.com, Pekanbaru - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau meminta forum G20 dan COP-27 menghentikan tawaran solusi palsu guna mengatasi krisis iklim. Walhi menilai dua helat tersebut tidak menaruh aspek keadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup sebagai aspek utama untuk bangkit dan pulih.

Walhi Riau menyatakan, Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 tetap melanggengkan dominasi ekonomi negara-negara anggota G20, khususnya G7. Negara G7 juga begitu dominan dalam menentukan keputusan-keputusan pada COP-27.

Tujuh negara tersebut menolak untuk membayar utang ekologisnya. Mereka malah terus mendorong negoisasi yang pada prinsipnya menguntungkan negara utara (global north countries) dan korporasi transnasional. 

Guna melawan tawaran solusi palsu tersebut, Walhi Riau bersama enam jaringan lembaga anggotanya, Perkumpulan Elang, Kaliptra Andalas, YLBHI-LBH Pekanbaru, Mapala Suluh, Wanapalhi dan Laskar Penggiat Ekowisata (LPE) Riau melakukan aksi damai di Jalan Sudirman, Pekanbaru, tepatnya di depan kantor Gubernur Riau.

"Aksi ini dilangsungkan sekitar pukul 13.30 WIB sampai dengan 14.30 WIB di Pekanbaru," kata Koordinator Relawan Pengorganisasian Walhi Riau, Rezki Andika, Rabu (16/11/2022).

Rezki menyebut forum G20 tidak mengusung agenda konkrit pemulihan lingkungan dan mewujudkan keadilan iklim bagi berbagai entitas, termasuk kelompok anak muda. Bahkan berbagai forum rakyat dan masyarakat sipil jelang dan bertepatan dengan KTT G20 Bali malah direpresi dan dibubarkan paksa. 

"Bagaimana forum ini dapat merumuskan keadilan, apabila para anggota G20 membiarkan pemerintah Indonesia sengaja mengangkangi demokrasi dan kebebasan berpendapat masyarakat sipil," tegas Rezki. 

 

 

2 dari 3 halaman

Tidak Demokratis

Tiga topik Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital, dan Transisi Energi, sambung Rezki, hanya bualan apabila negara-negara G20 mendorong transisi energi dan transformasi ekonomi digital dari varian industri ekstraktif.

Menurutnya, transisi energi hanya sebagai sarana transformasi komoditas, praktiknya tetap melukai bumi dengan varian tambang baru. Apalagi menggunakan energi yang menaruh rakyat di bawah bayang ancaman bencana. 

Rezki menjelaskan, pelaksanaan KTT G20 yang tidak demokratis jelas menutup ruang partisipasi kelompok anak muda. Contohnya, kelompok mahasiswa di Bali dan Kalimantan Tengah direpresi aparat keamanan ketika menyalurkan aspirasinya.

"Kondisi ini tentu menjauhkan kelompok muda dari perjuangan mewujudkan keadilan antargenerasi, keadilan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat dimasa depan," terang Rezki. 

Rezki memaparkan, pelaksanaan COP-27 tidak lebih baik dari KTT G20. Konferensi ini masih megedepankan skema bisnis untuk menahan laju perubahan iklim. Negara-negara penghasil karbon masih dibiarkan melanjutkan investasinya dan menggantinya dengan skema perdagangan karbon.

"Kondisi ini jelas merugikan kelompok masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil," ujar Rezki. 

Masyarakat di lokasi tersebut, sambung Rezki, telah mengalami dampak krisis iklim akibat praktik buruk negara-negara G7 dan korporasi multinasional. Selain itu, negara G7 melalui forum G20 berupaya untuk memonopoli harga perdagangan karbon.

"Praktik ini jelas merugikan negara-negara kecil yang tidak masuk dalam konfrensi, masyarakat adat hingga komunitas lainnya," tegas Rezki. 

 

3 dari 3 halaman

Iklim dan Perempuan

Sera, salah satu massa aksi dari LPE Riau, menyebut apa yang mereka serukan juga terkait dengan dampak buruk krisis iklim terhadap perempuan. Berdasarkan riset IUCN (2020) diketahui krisis yang lahir akibat perubahan iklim mengakibatkan peningkatan pernikahan perempuan di usia dini di Afrika.

Selain itu, perempuan juga sering digunakan menjadi alat tukar untuk mendapat pangan yang layak (dw.com/22/02/2020).

"Krisis iklim yang memperparah sumber air bersih juga ke depan akan membuat perempuan kesulitan untuk mendapatkan air. Padahal sejak bangun tidur hingga kembali tidur kehidupan perempuan tidak bisa dilepaskan dari air bersih," ujar Sera.

Sera menambahkan, aksi ini bertujuan mengingatkan Indonesia mengambil bagian lebih dalam upaya menekan dominasi negara G7 dalam dalam KTT G20 dan COP 27.

Indonesia, sebut Sera, seharusnya mengambil peran lebih agresif memaksa negara dan korporasi perusak lingkungan untuk membayar hutang ekologis, menekan dominasi penentuan harga karbon hingga menghentikan solusi palsu mengatasi krisis iklim.

"Bukan sebaliknya berlaku represif dan agresif terhadap tuntutan rakyat untuk berjuang mendapat keadilannya," jelas Sera. 

Aksi yang dikuti 30 anak muda ini juga mengingatkan Gubernur dan entitas pemerintah lokal lain di Riau agar secara tegas mengambil sikap melindungi masyarakat Riau dan sumber daya alamnya dari dampak krisis iklim.

"Gubernur dan entitas pemerintah lokal lain di Riau harus tegas meminta tanggung jawab negara dan korporasi yang bersumbangsih mendorong laju dampak krisis iklim di Riau, korporasi harus dipaksa membayar hutang ekologisnya," kata Rezki.