Sukses

Membedah Gagasan Mazhab Ekonomi Begawan Bangsa di Buku 'Perdebatan Pasal 33'

Buku 'Perdebatan Pasal 33 Dalam Sidang Amandemen UUD 1945' menjadi wawasan baru dalam khasanah ilmu ekonomi bangsa.

Liputan6.com, Jakarta - Setiap satu buku adalah sebuah kekayaan bagi bangsa, baik buku fisik maupun buku digital. Bagi Kepala Perpusnas Syarif Bando, keduanya memiliki kelebihannya sendiri dan wajib ada di perpustakaan sesuai mandat UU No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

"Tidak ada perbedaan antara buku cetak dengan buku digital. Bedanya adalah buku cetak bisa dibaca kapan dan di mana saja selama ada cahaya, sedangkan buku digital hanya bisa diakses ketika kita berada pada ruang yang terkoneksi dengan listrik dan internet," kata Syarif Bando.

Syarif Bando tak pernah bosan mengingatkan pentingnya membaca, karena ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dari membaca dan tulisan memonopoli kebenaran. Hal itu menyebabkan dampak dari invasi pemikiran seribu kali lebih dahsyat daripada perang fisik.

"Satu buku akan menembus jutaan kepala sekaligus menumbuhkan miliaran kemanusiaan baru. Sedangkan, satu peluru memang hanya menembus satu kepala tapi menghancurkan jutaan nilai kemanusiaan," ungkapnya.

Begitu pun buku berjudul Perdebatan Pasal 33 Dalam Sidang Amandemen UUD 1945 yang diluncurkan di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI secara hibrida, Senin (21/11/2022) kemarin.

Syarif Bando mengatakan, jerih payah buah pikir dan goresan pena yang tertulis dalam buku Perdebatan Pasal 33 Dalam Sidang Amandemen UUD 1945 kelak akan menjadi wawasan baru dalam khasanah keilmuan ekonomi bangsa Indonesia.

"Bertambah satu khasanah yang sangat penting untuk bangsa ini," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Muzani menyampaikan rasa bangganya atas koleksi yang dimiliki Perpunas tidak kalah hebat dari Library of Congress yang ada di Amerika Serikat. Selain itu, dia juga berharap agar semangat untuk membaca maupun untuk melakukan penelitian dan berinovasi tidak berhenti.

"Semuanya ada di Perpusnas. Untuk itu kami berharap penciptaan manusia unggul, inovatif, dan kreatif akan menjadi lebih kuat apabila didasari pada ilmu pengetahuan yang ada di perpustakaan," ujarnya.

Lebih lanjut, Ahmad menambahkan bahwa pada usia ke-100 pada 2045 Indonesia akan menjadi negara dengan kekayaan terbesar ke-4 atau ke-5 di dunia. Namun, dia menegaskan hal itu hanya akan terjadi apabila Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia mampu menopang dan memberi dukungan atas pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya alam yang ada.

Buku Perdebatan Pasal 33 Dalam Sidang Amandemen UUD 1945 menggambarkan referensi gagasan (mazhab) ekonomi, dari para begawan ekonomi bangsa, seperti Bung Hatta, Sutan Syahrir, Sumitro, Dawam Rahardjo, Sarbini Sumawinata, Emil Salim, Mubyarto, Sjafruddin Prawiranegara, Sri Edi Swasono, hingga Hidayat Nataatmadja.

Apabila disimpulkan dan disusun secara hierarkis menjadi Pancasila, ekonomi kekeluargaan, ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan, marhaenisme. Terlihat sebuah reinterpretasi progresif yang amat menarik.

Persinggungan konseptual yang diuraikan menunjukkan bahwa konstitusi ekonomi dimana Pasal 33 merupakan ruh-nya tidak hanya dilingkari oleh rekonstruksi gagasan-gagasan besar tapi juga memperlihatkan tentang kerja-kerja keilmuan yang masih terfragmentasi meski memiliki satu tujuan yang sama.

 

2 dari 2 halaman

Keilmuan Ekonomi Diuji

Buku yang ditulis Anggota Komisi X DPR RI, Elnino M Husein Mohi dan Akademisi, Susanto Polamolo itu, berusaha menyajikan semua perdebatan itu secara utuh dan obyektif. Dari buku Perdebatan Pasal 33 Dalam Sidang Amandemen UUD 1945 dapat terlihat sejauh mana keilmuan ekonomi diuji.

“Dengan adanya buku ini maka kami ingin mengajak kembali agar bangsa ini berdebat lagi tentang hal-hal yang paling ideal. Kita Bersama harus mengkaji lagi ekonomi Indonesia ke depan seperti apa supaya kesejahteraan itu betul-betul merata di seluruh rakyat Indonesia,” terang Elnino.

Sementara Susanto membenarkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 memang bersinggungan dengan banyak konsep yang akan membawa pembaca mundur jauh ke belakang.

“Kalau kita ngomongin pasal 33 ternyata memang dia bersinggungan dengan banyak konsep ya, yang pertama itu memang dia bersinggungan dengan konsep yang namanya konstitusi ekonomi, kemudian konsep ekonomi kerakyatan dengan gagasan-gagasan besar, lalu kemudian ada konsep demokrasi ekonomi, demokrasi politik dan yang terakhir dia bersinggungan dengan ekonomi Pancasila,” pungkasnya.

Bagi Susanto perdebatan-perdebatan tersebut merupakan perdebatan konseptual luar biasa dengan dampak panjang yang sayangnya sudah tidak dapat disaksikan lagi saat ini.