Liputan6.com, Madiun - Dongkrek adalah seni pertunjukan rakyat yang berkembang di Madiun, Jawa Timur. Unsur utama kesenian ini berpusat pada musik gamelan dongkrek, lakon (aktor pemain), dan latar cerita bernuansa sejarah.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, awal kemunculan dongkrek tak lepas dari upaya mengusir pagebluk atau wabah di Desa Mejayan. Selain dilestarikan sebagai ritual, saat ini dongkrek tampil dalam bentuk seni pertunjukan.
Bentuk penyajian dongkrek sebagai sarana ritual terbilang cukup sederhana. Dongkrek merupakan ritual berupa prosesi arak-arakan yang diikuti 34 orang penari.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, kesenian dongkrek juga diiringi bunyi-bunyian (ensambel) dan beberapa tokoh masyarakat. Dalam sajian ritual, dongkrek biasanya digelar dalam suasana yang gelap, yakni pada tengah malam Jumat Legi.
Bagi masyarakat Mejayan, hari Jumat Legi dianggap sebagai hari yang sakral. Pada malam tersebut, para peserta prosesi mengikuti arak-arakan mengelilingi wilayah Mejayan.
Mengutip dari 'Dongkrek Madiun: Antara Seni, Tradisi, dan Religi' oleh Alfiati, sejarah kesenian ini diciptakan oleh Ngabehi Lho Prawiro Dipoero pada 1867. Saat itu, dongkrek digunakan sebagai cara untuk menenangkan warga masyarakat yang panik dalam menghadapi serangan pageblug.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Penolak Bala
Dongkrek pun hadir menjadi media penolak bala berbagai penyakit. Menurut salah satu maestro pengembang dan pembina dongkrek, Ismono, kesenian ini diciptakan oleh almarhum Raden Ngebehi Lho Prawirodipuro yang saat itu menjabat sebagai Palang di Mejayan (Caruban).
Palang adalah pemimpin jabatan yang membawahi empat hingga lima Kepala Desa. Palang sebagai lurah kepala bertanggung jawab langsung kepada Wedana sebagai atasannya.
Sementara itu, Raden Ngebehi Lho Prawirodipuro adalah Palang terakhir dalam sistem pemerintahan pada waktu itu. Pada 1915 atau 1916, Ngebehi Lho Prawirodipuro wafat.
Kesenian yang berusia sangat tua ini juga mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kesenian dongkrek bersifat statis dan hanya ditampilkan setahun sekali, sehingga menimbulkan kebosanan di masyarakat.
Tari dongkrek lebih mengutamakan unsur sihir dan mistis. Meski tarian ini merupakan kesenian yang berasal dari Kota Madiun, tetapi tarian ini juga menjadi budaya bagi desa-desa di Madiun yang mempercayai mitos tari dongkrek.
Keunikan tari dongkrek ada pada properti yang digunakan, yakni topeng. Pemakaian topeng dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat tokoh yang diperagakan.
Setidaknya ada tujuh topeng yang digunakan, yakni topeng Genderuwo Merah, Genderuwo Hitam, Genderuwo Putih, Genderuwo Kuning, Roro Ayu, Roro Perot, dan Kakek Sakti. Topeng Genderuwo Merah menggambarkan sifat dan watak jahat, sedangkan topeng Genderuwo Hitam menggambarkan sifat dan watak buruk, seperti pemalas, rakus, angkuh, dan serakah.
Topeng Genderuwo Putih menggambarkan sosok baik berwatak manusiawi dan penuh tata krama. Sementara topeng Genderuwo Kuning menggambarkan makhluk halus yang mengganggu dengan menyerang daging dan kulit manusia.
Adapun topeng Roro Ayu menggambarkan seorang wanita yang cantik (putri pejabat), anggun, sopan dalam berbicara dan perilaku, serta selalu berbuat kebaikan. Sementara topeng Roro Perot menggambarkan seorang abdi kinasih yang mendampingi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari Roro Ayu.
Sementara, makna topeng Kakek Sakti menggambarkan peran pemimpin (palang) atau tokoh masyarakat. Ia digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan mengayomi masyarakat.
Selain beragam topeng, tari dongkrek juga menggunakan musik tradisional dengan tempo irama yang naik-turun. Hal tersebut mampu menimbulkan ketegangan saat pementasan berlangsung.
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement