Liputan6.com, Palangka Raya Masyarakat adat Dayak akrab dengan tradisi mengayau. Tradisi ini mempunyai hubungan erat dengan ritual Mangkuk Merah. Mereka percaya jika ritual tersebut sebagai sarana berkomunikasi dengan para roh nenek moyang.
Bahkan ritual ini juga kerap digunakan sebagai bentuk pertahanan dalam menjaga keselamatan dari serangan pihak lain, terutama saat terjadi peperangan atau konflik yang mengancam jiwa banyak orang.
Baca Juga
Namun, penggunaan ritual tersebut tak bisa sembarangan dilangsungkan. Hanya panglima adat yang dapat memimpin ritual ini, prosesnya meliputi musyawarah hingga pemberangkatan bala.
Advertisement
Nantinya panglima adat akan membawa Mangkuk Merah pada saat matahari terbenam ke Panyugu sebuah tempat suci yang dianggap keramat. Di sana dirinya akan meminta petunjuk dewa yang diyakini akan dijawab dengan tanda-tanda alam.
Sakha Bintang menuliskan dalam bukunya Kisah Mangkuk Merah dalam Tradisi Suku Dayak, yang menyebut penamaan Mangkuk Merah tak bisa lepas dari cairan merah yang ada pada getah jaranang yang dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.
“Merah diidentikkan dengan darah, karena itu darah harus digunakan sebagai salah satu sesaji dalam ritual Mangkuk Merah.” katanya.
Masyarakat adat percaya jika ritual Mangkuk Merah telah dilangsungkan, para dewa dan roh leluhur akan meminjamkan kekuatan magis kepada mereka. Bahkan jika seseorang telah di bawah komando roh dewa, konon akan kebal terhadap senjata.
Karena kejadian itulah, akhirnya tercipta sebutan untuk roh yang dipercayai masyarakat adat Dayak sebagai roh dewa atau leluhur yang ikut terlibat dalam peperangan.
Terlepas dari peristiwa berdarah, ritual Mangkuk Merah ternyata memiliki nilai keramat dan kharisma yang tinggi. Sehingga hal ini menjadi bukti jika masyarakat adat Dayak masih begitu menjaga erat tradisi mereka.