Liputan6.com, Makassar - Aksara lontara atau dikenal sebagai aksara Bugis merupakan 1 dari 5 aksara kuno di dunia. Aksara lontara digunakan oleh Suku Bugi dan Suku Makassar.
Dikutip dari laman sawerigading.kemendikbud.go.id, keberadaan aksara lontara sebagai identitas leluhur kedua etnis tersebut. Pada abad ke-16 hingga awal abad 20 Masehi, aksara Lontara dijadikan sebagai tulisan sehari-hari bagi sastrawan Sulsel.
Aksara Lontara sangat terkenal di Eropa semenjak sure' I La Galigo dibawa Oleh B F Mathes dari Sulsel ke Belanda. Aksara Lontara saat ini telah terdaftar di Unicode, dan telah dijadikan buku yang termuat dalam The Unicode Standart.
Advertisement
Kata Lontara berasal dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yaitu raung yang berarti daun, dan taq yang berarti lontar. Kemudian raung taq diartikan sebagai daun lontar.
Baca Juga
Sebab, pada awalnya tulisan tersebut dituliskan di atas daun lontar. Daun lontar ini bentuknya berukuran kira-kira 1 cm lebarnya.
Sedangkan, panjangnya bergantung dari panjang cerita yang dituliskan di dalamnya. Dahulu, tiap-tiap daun lontar disambung dengan memakai benang, lalu digulung pada jepitan sebuah kayu, yang bentuknya mirip pita kaset.
Aksara Lontara diciptakan oleh Daeng Pamatte yang merupakan seorang syahbandar dan menjabat sebagai Tumailalang atau Menteri urusan istana luar dan dalam negeri di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510 - 1546).
Alasan aksara ini dibuat yakni pada saat itu pemerintah Kerajaan Gowa ingin menuliskan apa yang mereka ucapkan. Selain itu agar mereka dapat menuliskan kejadian pada masa itu, sebagai warisan bagi keturunannya sebagai bekal bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Aksara Lontara pada masa ini disebut sebagai aksara Lontara Toa atau Jangang-Jangang (burung). Dalam perkembangannya aksara Lontara kemudian mengalami perubahan.
Huruf aksara Lontara berubah saat agama Islam masuk sebagai agama resmi di Kerajaan Gowa. Bentuk huruf aksara Lontara berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab.
Seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf "ka", angka Arab nomor 2 dan titik di bawah diberi makna "Ga", angka tujuh dengan titik di atas diberi makna "Nga".
Aksara Lontara yang telah mengalami perubahan ini disebut Lontara Bilang-Bilang. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Lontara Hitungan.
Lontara Bilang-Bilang ini sendiri diperkirakan muncul pada abad ke-16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639). Selanjutnya, aksara Lontara mengalami penyederhanaan dengan menggunakan bentuk huruf dari belah ketupat.
Meski belum ada sumber yang jelas siapa dan mengapa aksara lontara kembali mengalami penyederhanaan. Namun, berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya Islam.
Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut yakni huruf "Ha". Sementara, ada pendapat yang menyebutkan bahwa si pencipta aksara Lontara Daeng Pamatte sendiri yang kemudian menyederhanakan dan melengkapi aksara lontara itu.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Huruf-Huruf Aksara Lontara
Mengutip indonesia.go.id, aksara Lontara tak memiliki tanda baca virama (pemati vokal), sehingga aksara konsonan mati tidak dituliskan. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan bagi orang yang tak terbiasa dan tidak mengerti akan kata yang dituliskan.
Misalnya pada kata "Mandar" hanya ditulis mdr, dan tulisan sr dapat dibaca sebagai "sarang", sara', atau "sara" tergantung pada konteks kalimat. Arah tulisan aksara lontara adalah kiri ke kanan yang ditulis tanpa spasi dengan tanda baca yang minimal.
Aksara Lontara adalah tulisan abugida yang terdiri dari 23 aksara dasar, yaitu KA-GA-NGA-NGKA-PA-BA-MA-MPA-TA-DA-NA-NRA-CA-JA-NYA-NCA-YA-RA-LA-WA-SA-A-HA.
Aksara lontara memiliki 6 huruf vokal seperti /É”/, /i/, /u/, /e/, /É™/, dan /o/ serta memiliki sistem penulisan angka.
Advertisement