Sukses

Manten Kucing, Ritual Unik Tulungagung yang Dipercaya Datangkan Hujan

Warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang bisa diakhiri dengan sebuah ritual khusus yang bernama Manten Kucing

Liputan6.com, Jakarta - Hujan merupakan salah satu kondisi alam yang turun ke bumi secara alami. Di kalangan masyarakat Jawa, hujan diyakini tidak hanya datang secara alami.

Hujan juga diyakini bisa didatangkan lewat sebuah ritual khusus yang merupakan warisan nenek moyang. Berbagai cara ritual dilakukan untuk mendatangkan hujan.

Salah satunya memandikan sepasang kucing lawan jenis di sebuah sendang atau coban. Tradisi unik tersebut berada di Desa Pelem Kecamatan Campur-darat Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.

Dilansir dari berbagai sumber, warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang bisa diakhiri dengan ritual khusus yakni Manten Kucing.

Ritual ini dilakukan ketika memasuki musim penghujan namun tak kunjung turun air dari langit. Hingga membuat lahan persawahan di kawasan desa mulai mengering.

Ritual tersebut dinamakan manten karena pada prosesinya mirip upacara pernikahan layaknya sepasang pengantin manusia. Manten Kucing menjadi salah satu ritual khusus warga desa yang dipercaya bisa mendatangkan hujan. Diketahui, ritual tersebut sudah ada sejak masa pemerintahan Belanda.

Saat itu, seorang sesepuh desa setempat bernama Eyang Sangkrah sedang membabat alas pada musim kemarau. Hujan tak kunjung turun hingga lahan persawahan, sungai dan telaga mulai mengering.

Para penduduk yang ma­yoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual kepercayaan telah dilakukan agar hujan segera turun.

 

2 dari 2 halaman

Mulai Ditinggalkan

Ditengah-tengah penantian dan harapan akan turun hujan, sosok Eyang Sangkrah mandi di sendang. Namun, tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.

Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang sudah lama menunggu-nunggu turun­nya hujan tak bisa menyembu­nyikan rasa riangnya.

Sejak saat itu, jika musim ke­marau panjang melanda desa Pelem, warga akan meminta kepala desa menggelar ritual tersebut. Namun, seiring perkembangan budaya, tradisi, dan zaman, ritual “Manten Kucing” pun dilengkapi beberapa sajian kesenian khas Jawatimuran.

Jika dahulu kucing dibawa tanpa hiasan, maka sejak 1980-an, ritual melibatkan sejumlah adat dan kesenian. Seperti si pembawa kucing terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian layaknya orang mau menikah.

Selain itu ada juga iring-ringan warga desa dan sesepuh. Tepat di belakang pembawa k­cing, terdapat dua orang dayang laki-laki membawa payung pusaka.

Untuk menambah kemeriah­an ritual, terdapat beberapa anak yang memainkan jaranan. Setelah itu baru rombongan mulai dari sesepuh desa hingga anak muda memakai pakaian adat. Rombongan tersebut kemudian berjalan menuju sendang.

Setelah selesai, kedua kucing kemudian duduk di singgasana dan dipangku dua pengiringnya. Tetua adat sudah mempersiapkan nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan sayurnya serta jenang merah sebagai prasyarat.

Tetua Desa pun langsung memanjatkan puja dan puji syukur atas nikmat Tuhan serta tak lupa meminta Tuhan se­gera mengirimkan hujan agar ti­dak terjadi kekeringan.

Selesai pembacaan doa-doa, ritual dilanjutkan dengan acara Tiban, yakni saling menyabetkan sapu lidi yang diikat kepada lawan. Harapannya, hujan segera datang.

Setelah upacara memandikan kucing selesai, warga desa langsung berebut air bekas memandikan pasangan kucing itu. Mereka percaya air tersebut membawa berkah hingga awet muda.

Selain air, kucing yang dipakai untuk ritual juga akan diperebut­kan untuk dijadikan hewan peliharaan, dengan harapan akan mendatangkan rejeki bagi sang pemilik.

Seiring berjalannya waktu, ritual manten kucing mulai di tinggalkan masyarakat setempat. Sebab, ritual yang digelar tiap tahun itu seakan dilakukan dengan cara instan.

Banyak tradisi unik yang merupakan bagian dari prosesi yang kini justru dihilangkan.