Sukses

Perjalanan Lak, Kerajinan Tangan Palembang Hasil Akulturasi Budaya

Laker masuk ke Palembang bersamaan dengan masa awal Kerajaan Palembang, yakni 1587 M.

Liputan6.com, Palembang - Lak merupakan sebutan untuk kerajinan tangan Palembang. Kriya ini merupakan hasil akulturasi dengan kebudayaan Tiongkok.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, lak didapat dari liur serangga yang dikenal sebagai kutu lak (laccifer lacca kerr). Liur tersebut kemudian diolah sebagai bahan cat yang dikenal sebagai malau.

Lak dan syelak (shellac) adalah resin lengket yang digunakan sebagai bahan pewarna, pengilat, sekaligus pernis. Adapun di Indonesia, kutu lak biasanya hidup di pohon kesambi (Schleichera oleosa).

Pada masa Dinasti Ming (1368-1643 SM), kriya serupa ini mulai dikenal. Saat itu, malau awalnya digunakan untuk menulis pada batang bambu.

Pada masa Dinasti Chou (1027-256 SM), laker dipakai untuk menghias piring dan alat makan lainnya. Selanjutnya, laker digunakan untuk menghias tandu dan kereta kecil.

Adapun laker masuk ke Palembang bersamaan dengan masa awal Kerajaan Palembang (1587 M). Saat itu, rumah-rumah di Keraton Palembang dibangun dalam arsitektur limas.

Interior rumah-rumah tersebut diukir dan dicat dengan warna emas, merah manggis (maron), dan hitam. Para pengukirnya pun berasal dari Kwan Tung (Guangdong) atau Kanton.

Penduduk Kanton Suku Konghu datang ke Nusantara sekitar abad ke-16 M. Dari hasil penelusuran yang dilakukan di Palembang dan beberapa wilayah sekitar, pembuatan ukiran dan hiasan rumah limas dan perabotan lak menunjukkan adanya keterlibatan bangsa China.

Namun, sumber-sumber wawancara hanya menyebutkan tentang pengerjaannya yang dilakukan oleh orang China, tanpa menyebutkan asal dan suku pekerja tersebut. Berbeda dengan masa sekarang, warna emas memang berasal dari percampuran bubuk emas murni.

Hal tersebut pula lah yang mendasari adanya warna emas pada ukiran dan lukisan lak di rumah limas tidak pudar meskipun sudah berusia ratusan tahun. Hingga saat ini, laker masih terus diproduksi di Palembang dengan beragam bentuk, mulai dari rek (lemari hias), perlengkapan mebel, perlengkapan makan, bun (semacam mangkuk bertutup) dalam berbagai ukuran, dulang, vas bunga, guci, hingga beragam cendera mata.

Proses pembuatan lak dimulai dari kayu utuh yang dibentuk sesuai benda yang akan dibuat. Selanjutnya, diampelas hingga halus.

Permukaan kayu yang halus tersebut kemudian diolesi dengan kalk, lalu dikeringkan tanpa terkena sinar matahari langsung. Setelah kering, lak kembali diampelas hingga halus.

Setelah itu, dicat dengan pewarna merah. Selanjutnya, kembali diampelas dan diberi hiasan (lukis) berbahan tinta China.

Setelah bahan tersebut kering, kemudian dilapisi dengan lak. Pelapisan tersebut hanya boleh dilakukan dengan sekali kuas untuk menghindari perbedaan tekstur.

Setelah proses ini selesai, maka harus kembali dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering pun masih harus kembali diampelas.

Adapun ragam hias yang digunakan untuk lak semula hanya flora. Hal tersebut menyangkut pandangan rakyat Palembang yang saat itu masih menganggap penggambaran makhluk hidup (berdarah) hukumnya haram dalam Islam. Setelah masa kolonial Belanda (pasca-kekalahan Kesultanan Palembang Darussalam pada 1821), baru masuk unsur hewan, terutama hewan mitologis Tiongkok, yaitu burung hong.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Saksikan video pilihan berikut ini: