Liputan6.com, Yogyakarta - Siapa sangka, perairan nusantara pernah dikuasai bajak laut bak serial anime One Piece yang tersohor. Kisah bajak laut menguasai perairan nusantara yang pernah tercatat terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Dikutip dari "Sumatera tempo doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka" (2010) oleh Komunitas Bambu, para perompak ini menguasai jalur perdagangan terpadat saat itu, Selat Malaka. Perairan Selat Malaka sudah ramai sejak ribuan tahun silam.
Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Advertisement
Baca Juga
Bahkan, secara tidak langsung menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, yakni India, Indonesia, dan Republik Rakyat Tiongkok (China). Kapal-kapal dagang dari India dan China sering melintasi jalur laut tersebut untuk perdagangan.
Padatnya lalu lintas laut di Selat Malaka memicu perompakan berkali-kali. Aksi perompakan bajak laut di Selat Malaka tidak hanya menguntungkan jika dilihat dari segi material, tetapi juga merupakan alat politik yang penting.
Para penguasa mengandalkan para perompak untuk mempertahankan kekuasaan. Salah satu contoh terjadi pada abad XIV di bawah pemerintahan seorang pangeran Palembang, Parameswara.
Berkat bantuan segerombolan perompak yang terdiri dari suku Orang Laut yang setia kepadanya, dirinya berhasil melarikan diri dari kejaran utusan kerajaan Majapahit dan akhirnya mendirikan Kesultanan Malaka.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Dukungan Masyarakat Pesisir
Bagi Belanda dengan modal ekonominya, kata mereka, perompak harus dibasmi. Sedangkan, bajak laut seringkali mendapat dukungan dari masyarakat pesisir.
Mereka dianggap pahlawan yang menyelamatkan masyarakat dari ancaman dan gangguan yang datang dari luar. Penguasa Sriwijaya bahkan dianggap memanfaatkan bajak laut untuk menjaga kepentingan dagangnya.
Hubungan bajak laut dengan raja-raja lokal biasanya akrab. Bajak laut bisa disulap jadi Angkatan Laut sebuah kerajaan jika ada bagi hasil yang saling menguntungkan antara raja dan kepala bajak laut.
Sriwijaya dan Tumasik membuat sebagian pedagang dari Asia Barat lebih memilih melewati pesisir barat Sumatra untuk menuju Jawa. Di pesisir barat Sumatra, setidaknya ada beberapa pelabuhan seperti Barus, Padang, atau Pariaman.
Kekuatan Sriwijaya yang mampu mengendalikan bajak laut, membuat jalur pelayaran yang awalnya menakutkan bagi para pedagang Muslim, kemudian berubah menjadi aman dan nyaman untuk dilayari.
Sejak keruntuhan Sriwijaya sekitar abad ke-11 atau ke-12, bajak laut di Selat Malaka bertindak sendiri-sendiri dan tampaknya semakin mengganas. Selat Malaka menjadi rawan bagi pelayaran. Hal inilah yang kemudian “dibersihkan” oleh armada Cheng Ho (Zheng He) pada abad ke-15.
Namun, pada waktu-waktu kemudian, para perompak terus beraksi. Gejala bajak laut semakin mengemuka pada abad ke-19.
Hal ini seiring dengan semakin dominannya negara-negara kolonial, baik di daratan maupun di perairan Nusantara. Dalam berbagai operasi penanganan bajak laut, rata-rata bajak laut di Nusantara akan bernasib malang, mati karena serangan serdadu kolonial, tertangkap dan dihukum mati oleh pengadilan kolonial.
Semakin dominannya kekuatan Belanda dan Portugis di Nusantara, maka para pelaut pribumi jatuh dalam kekuasaan kolonial.
Advertisement