Sukses

Luas Hutan Berkurang, Buaya Teror Nelayan di Konawe Selatan

Warga desa Lalonggombu Konawe Selatan menangkap empat ekor buaya setelah menewaskan dua orang warga selama tahun 2022.

Liputan6.com, Kendari - Warga Desa Lalonggombu Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan, menangkap empat ekor buaya muara (crocodylus porosus), Jumat (30/12/2022). Beberapa bulan sebelumnya, tiga orang warga menjadi korban gigitan buaya Konawe Selatan. Dua orang tewas, satu orang lainnya mengalami cacat permanen pada bagian kaki.

Kepala Desa Lalonggombu, Umar Malik menyatakan warganya nekat menangkap buaya karena dianggap meresahkan. Sebab, hewan liar ini kerap berkeliaran di sekitar empang milik warga.

"Jika tak ditangkap, warga khawatir akan ada korban selanjutnya," kata Umar Malik, Senin (2/1/2023).

Umar Malik menyatakan, selama beberapa tahun terakhir, keberadaan buaya sudah dianggap over populate. Pasalnya, kerap muncul hingga ke dalam lokasi empang.

"Padahal, sebelum-sebelumnya tak pernah," ujarnya.

Dia mengungkapkan, ratusan orang warga Desa Lalonggombu menggantungkan hidup di sekitar sungai. Sehingga, potensi konflik antara buaya Desa Lalonggombu dan manusia sangat besar.

"Kita harapkan, pemerintah bisa menemukan solusi, sehingga hewan liar ini tidak mengganggu keberadaan warga," ujarnya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara, diketahui, sudah melepasliarkan dua dari empat ekor buaya tangkapan warga, Sabtu (31/12/2022).

Pihak BKSDA menjelaskan, dua ekor buaya hasil tangkapan warga, dilaporkan mati. Penyebabnya, kondisi stres dan capek dialami buaya liar setelah warga menangkap jenis buaya terbesar di dunia ini.

Kepala BKSDA Sulawesi Tenggara Sakrianto Djawie menyatakan, ukuran buaya rata-rata mencapai 3 meter lebih. Pihaknya melepasliarkan buaya di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

"Buaya yang hidup dan sudah lepasliar berjenis kelamin jantan," ujar Sakrianto Djawie, Senin (2/1/2022).

"Secara keseluruhan di wilayah Sultra kami terima laporan sebanyak 9 kali selama 2022," lanjutnya.

Menurutnya, konflik antara buaya liar dan manusia di Sulawesi Tenggara, dominan terjadi di Konawe Selatan. Penyebabnya, habitat hutan sebagai tempat buaya mencari makan di sekitar muara sungai sudah rusak dan hilang.

"Berkurangnya sumber makanan akibat perluasan wilayah pemukiman manusia juga adanya tambak ikan yang selama ini sebagai habitat hidup buaya muara di Konawe Selatan," kata Sakrianto Djawie.

 

2 dari 3 halaman

Teror Buaya

Saat ini, warga kerap melaporkan keberadaan di buaya di sejumlah sungai lokasi di Konawe Selatan. Desa Lalonggambu, salah satunya dianggap sebagai lokasi buaya banyak berkeliaran.

Kades Lalombanggu Umar Malik menyatakan, ada tiga sungai di desanya. Yakni, Sungai Rara'a, Laea dan Labokeo. Buaya di tiga sungai ini, dianggap sudah over population. Sehingga, kadang masuk mencari makan dalam pemukiman warga.

"Alasan warga menangkap buaya bukan karena mau membunuh dan memburu hewan liar ini, tapi memang karena buaya sudah masuk ke dalam pemukiman," ujar Umar Malik.

Kata dia, ratusan orang di wilayah desa menggantungkan hidup di sungai. Sehingga, mesti ada solusi tepat dari pemerintah agar keberadaan buaya tidak menelan korban selanjutnya.

"Kawasan mangrove sudah berkurang, sebab ada pembukaan lahan baru. Namun, kami pikir, kondisi bukan saja terjadi di desa kami, tapi banyak desa lainnya juga berkurang lahan mangrove," jelasnya.

3 dari 3 halaman

Luas Hutan Berkurang

Luas hutan Konawe Selatan, saat ini sudah berkurang. Selain karena aktivitas perkebunan dan pertambangan nikel, hal ini disebabkan adanya perluasan wilayah pemukiman manusia.

Salah satunya, data luas hutan berkurang akibat kebakaran hutan, disampaikan pihak Manggala Agni Daops Sulawesi Tenggara. Tahun 2022, hutan berkurang akibat kebakaran hutan di Konawe Selatan seluas 77 hektar di Konawe Selatan.

Kebakaran hutan juga menjadi salah satu penyebab berkurangnya luas hutan. Kepala Manggala Agni Daops Sulawesi Tenggara, Yanuar Fanca Kusuma menyatakan, berkurangnya hutan di wilayah Konawe Selatan dan Sulawesi Tenggara secara umum karena beberapa faktor.

"Tergantung kepentingan manusia di sekitar hutan," ujarnya.

Dia menjelaskan, pembukaan lahan baru di sekitar wilayah pertambangan dan perkebunan bisa menjdi salah satu penyebabnya. Selain itu, aktivitas wisata, pengembalan ternak serta kondisi cuaca elnino seperti 2019, bisa menjadi penyebab meningkatnya luasan hutan berkurang akibat kebakaran.

"Contoh, kasus kebakaran lahan gambut di Kolaka Timur, lahan kebun di Bombana, Konawe Selatan serta Kolaka," ujarnya.

Dia menambahkan, Manggala Agni saat ini tengah berkoordinasi dengan pihak terkait untuk meminimalisir jumlah kebakaran hutan. Saat ini, Manggala Agni sudah mendapatkan penambahan fasilitas pemadam kebakaran dan kendnaraan operasional.

"Namun, jumlahnya masih kurang. Apalagi jika kondisi cuaca seperti 2019, kami kewalahan saat itu mesti memadamkan kebakaran hutan dengan kondisi peralatan terbatas," kata Yanuar Fanca Kusuma.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Â