Liputan6.com, Yogyakarta - Belangkon merupakan ikat kepala atau penutup kepala pria dalam tradisi busana Jawa. Belangkon terbuat dari jalinan kain polos atau bermotif hias (batik) yang dilipat, dililit, dan dijahit.
Kain tersebut kemudian diubah menjadi semacam topi yang dapat langsung dikenakan oleh pemakainya. Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, selain berfungsi sebagai penutup kepala, belangkon juga memiliki makna simbolik di baliknya.
Belangkon melambangkan pengharapan dalam bobot nilai-nilai hidup. Masyarakat Jawa beranggapan kepala seorang laki-laki memiliki arti penting dan sangat diutamakan.
Advertisement
Masyarakat Jawa kuno umumnya menggunakan belangkon sebagai pakaian keseharian dan dapat dikatakan sebagai pakaian wajib. Dalam riwayatnya, keberadaan belangkon dapat dirunut dari berbagai sisi, mulai dari sejarah lisan, mitologi, babad, hingga sastra tulis.
Baca Juga
Penggunaan ikat kepala berbentuk surban umumnya sudah dikenal sejak hikayat Ajisaka, yakni saat pendatang mengenakan kain penutup kepala (surban) sesuai tradisi asalnya (masyarakat Keling, India). Ajisaka yang diyakini sebagai cikal bakal pengembang peradaban di Jawa menjadi salah satu yang disebut sebagai sumber asal keberadaan belangkon.
Awalnya, penutup kepala pada masyarakat Jawa Tengahan, sejatinya memiliki desain lilit yang disusun dari lembaran kain segitiga. Bentuk tersebut berbeda dengan penutup kepala masyarakat Jawa kuno yang cenderung digambarkan berupa gelung rambut panjang dan lembaran jamang.
Kain tersebut dililitkan di kepala tanpa menutup bagian atas kepala (rambut atas). Jamang terbuat dari kulit binatang (busana tradisi panjen atau gedhog).
Dalam tradisi masyarakat Jawa Tengahan (pasca Majapahit), dikenal penutup kepala yang tersusun dalam suatu desain lilitan kain. Penutup kepala tersebut mampu menutup hingga semua bagian atas kepala, termasuk rambut.
Pada masa tersebut, banyak laki-laki berambut panjang. Mereka menggunakan penutup kepala dengan cata menekuk atau menggulung rambut ke bagian belakang, kemudian dililit lembaran kain.
Kain tersebut membentuk tonjolan rambut tertali dan tertutup kain. Adapun lembaran kain segitiga (gunung) tersebut disebut iket.
Iket lembaran merupakan kain berbentuk segi tiga dengan alas memanjang berwarna polos hitam, cokelat, biru, atau putih. Umumnya, kain tersebut berhias corak batik tertentu.
Agar lebih praktis, selanjutnya iket tersebut dibuat menjadi blangkon. Kelahiran belangkon memang sering kali dikaitkan dengan penambahan varian pengenaan iket lembaran dan iket tepen dalam tradisi busana Jawa.
Secara masif, kelahiran belangkon diperkirakan bersamaan dengan beralihnya penutup kepala dari kain (iket tepen) ke penutup kepala dengan tropong dalam dunia pertunjukan wayang wong. Dalam perkembangannya, blangkon membawa berbagai corak lokal, yakni belangkon gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya wilayah kultur lainnya, seperti Sunda, Semarangan, Pesisiran, dan Jawa Timuran.
Pada hakikatnya, belangkon menjadi kekayaan tradisi budaya yang menyebar dan dimiliki oleh masyarakat tradisi. Belangkon gaya Yogyakarta saat ini masih berkembang.
Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan tradisi, tetapi juga berkaitan dengan bisnis suvenir ikon Yogyakarta. Hingga saat ini, belangkon gaya Yogyakarta masih terus diproduksi dengan desain khasnya beserta seluruh simbol, makna, dan ajaran nilai yang terkandung di dalamnya.
Penulis: Resla Aknaita Chak