Sukses

Tahun Baru di Baduy Dalam, Bahagia dalam Keheningan

Tak ada petasan dan kembang api di Baduy Dalam. Malam tetap dingin dan sunyi.

Liputan6.com, Lebak - Gegap gempita perayaan tahun baru di mana-mana. Gelegar petasan dan gemerlap kembang api memenuhi pergantian tahun, disusul selebrasi menghitung mundur waktu dan diakhiri ucapan selamat tahun baru kepada keluarga, sahabat, serta kolega.

Dunia merayakan momen tersebut, dari Kepulauan Karibiti, Samudera Pasifik, yang menjadi area pertama hingga Kepulauan Baker dan Howland yang menjadi wilayah terakhir menyambut momen peralihan tahun. Di sejumlah negara, perayaan yang menandakan resolusi baru tersebut dirayakan dengan penuh kebahagiaan.

Di Times Square, New York City, sekitar 1 juta orang memadati area untuk meramaikan perayaan. Bahkan di Wuhan, China, masyarakat tetap berkumpul untuk melepaskan balon berwarna merah muda di tengah lonjakan kasus Covid-19. Tidak berbeda jauh dengan perayaan di berbagai wilayah, di Jakarta, ribuan masyarakat memadati kawasan Bundaran HI dan menantikan pesta kembang api.

Cerita merayakan Tahun Baru 2023 di Baduy Dalam (Foto: Ita Hanika)

Namun, tak semua berpesta di masa pergantian tahun. Komunitas atau warga di suatu daerah masih menjaga keheningan dan kesunyian. Di kampung Baduy, Lebak, Banten misalnya. Tak ada petasan dan kembang api, masih utuh malam yang dingin dan sunyi.

Berlokasi di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, kawasan Baduy Dalam merupakan salah satu wilayah yang sangat erat memegang tradisi dan membentengi modernisasi budaya luar, termasuk dalam merayakan pergantian tahun.

“Ya kayak hari biasa aja, bekerja, berkebun, dan ngobrol sama tetangga, gak ada kembang api atau bakar jagung, biasa aja,” tutur Agus, salah satu penduduk Baduy Dalam.

Kami pun berjalan menuju kampung Baduy Dalam.

 

2 dari 4 halaman

Menembus Hutan

Selama perjalanan menuju Baduy Dalam, Agus bercerita bahwa terdapat sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh para pengunjung. Larangan itu antara lain mendokumentasikan wilayah Baduy Dalam, menggunakan produk kimia seperti sabun atau pasta gigi, menggunakan peralatan listrik, membuang sampah sembarangan, mencabut tanaman di sepanjang jalan, memasuki Leuweung Kulot atau hutan lindung. Pengunjung juga harus menjaga sopan santun.

Hal tersebut menjadi tradisi turun menurun yang harus dihormati untuk menghargai para leluhur dan aturan. Bagi masyarakat Baduy Dalam seperti dirinya, kata Agus, larangan adat atau yang dikenal sebagai Pikukuh Badui justru jauh lebih banyak. "Dibandingkan bolehnya, lebih banyak gak bolehnya,” canda Agus.

Hal tersebut tentu menjadi pembelajaran bagi kami para pengunjung untuk menghargai adat istiadat setempat. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana pun kita berada, sudah sepatutnya kita mengikuti budaya yang ada.

Perjalanan menuju Baduy Dalam tidaklah mudah, apalagi jika dilakukan di saat peralihan tahun, tepat di saat musim penghujan tiba. Mendaki gunung, melewati lembah dengan sungai mengalir indah, seperti lirik lagu Ninja Hatori, menjadikan ekspedisi ke Baduy Dalam menjadi penuh tantangan.

Meskipun begitu, panorama alam nan asri membuat rasa lelah berangsur sirna, hanya decak kagum dan rasa syukur dalam menikmati pemandangan alam di akhir tahun. Setidaknya butuh waktu empat jam bagi para pengunjung untuk bisa menuju Baduy Dalam, sedangkan bagi masyarakat Baduy Dalam, mampu menerabas waktu tersebut menjadi 1 jam perjalanan.

"Kak, kalau gak kuat gak apa-apa, kita istirahat dulu dari pada pingsan. Tapi kalau pingsan, nanti bakal ada yang nandu. Banyak juga yang gak kuat di tengah jalan, kemudian kita tandu pakai bambu dan karung goni,” ujar Agus. Kami tertawa kecil.

 

3 dari 4 halaman

Sepotong Kebahagiaan

Ketika tiba di rumah salah seorang penduduk Baduy Dalam, Pak Jali beserta istrinya menyambut hangat. Meskipun terkesan pemalu, mereka mempersilakan kami masuk ke dalam rumah mereka tanpa perlu sungkan. Memasuki ruangan yang terlihat seperti ruang kumpul keluarga, kami mendapati tikar pandan sebagai alas kami beristirahat.

Tidak lengkap rasanya mengakhiri akhir tahun tanpa berendam di sungai setempat. Selain tidak tersedianya kamar mandi, konon katanya, sejumlah warga Baduy Dalam meyakini bahwa mandi di sungai selepas perjalanan dapat membawa kesehatan. Di mana lokasi sungai? “Tidak sejauh perjalanan tadi, tinggal lurus dan belok kiri," kata seorang warga.

Menjelang malam, Pak Jali telah menyiapkan jamuan makan malam sederhana, sayur sop, nasi, telur dadar, dan juga sambal. Pak Jaka menyebutkan bahwa hari tersebut merupakan hari terakhir mereka dapat memakan telur, mengingat selama tiga bulan ke depan mereka memiliki pantangan untuk makan telur.

Meskipun begitu, hidangan sederhana tersebut meninggalkan kesan yang mengena di hati kami, menyulut desir bahagia. Kebahagiaan memang sesederhana itu. Penelitian yang dilakukan oleh Martin (2008) dalam Paradox of Happiness, menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan pandangan subjektif, sehingga ketika individu melihat sesuatu secara positif, maka perasaan bahagia itu akan muncul. Bahkan perasaan membahagiakan seringkali muncul tanpa seseorang meminta atau bahkan mengejar kebahagiaan itu sendiri.

Sebelum menutup malam, Pak Jali menceritakan berbagai hal mengenai Baduy Dalam, mulai dari silsilah, pikukuh atau aturan adat mutlak, hingga masyarakat Baduy Dalam yang perlahan sudah mulai terbuka terhadap budaya luar seperti keaktifan partisipasi politik.

Budaya gotong royong masih terasa kental di masyarakat Baduy Dalam. Sebagai contoh, pembangunan rumah. Masyarakat setempat akan membantu satu sama lain dalam mengumpulkan bahan yang dibutuhkan seperti jerami, kayu, dan bambu, serta mengerjakan pembangunan rumah.

Pak Jali juga menjelaskan aturan dalam pembuatan rumah; harus minta izin terhadap kepala suku dalam pembangunan dan mengambil bahan yang dibutuhkan, tidak boleh menggunakan paku, harus menghadap utara atau selatan guna mendapatkan cahaya, dan hanya boleh memiliki satu pintu.

Hal tersebut memiliki makna yang mendalam, bahwa dalam kehidupan rumah tangga, pasangan harus bisa berkomitmen dengan satu orang. “Istri hanya satu, suami tidak boleh selingkuh apalagi melakukan poligami,” ujar Pak Jaka yang disambut gelak tawa pelawat.

 

4 dari 4 halaman

Kembali ke Alam

Menyambung dari penjelasan Agus mengenai larangan yang harus ditaati oleh pelancong, Pak Jaka menambahkan jika para pengunjung tidak mentaati hal tersebut, maka akan ada hukum alam yang didapati oleh orang yang melanggar. “Kalau melanggar, siap aja kena hukum alam. Bentuknya bisa berupa apa saja, yang jelas ada karmanya,” ujar Pak Jali.

Hal ini menjadi pembelajaran bagi kami, bahwa hukum tuai tabur memang berlaku adanya. Apapun yang kita lakukan akan termanifestasi dalam berbagai bentuk di masa yang akan datang. Meskipun bagi sebagian besar orang, hal ini umum dikenal dengan istilah karma, tetapi dalam perilaku komunikasi, fenomena tersebut merupakan bentuk sebab akibat.

Jika berada dalam konteks hubungan personal, Teori Pertukaran Sosial (Kelley Kelley & Thiabaut, 1978; Rusbult & Buunk, 1993; Sayer & Nicholson, 2006; Thiabaut & Kelley, 1959; dalam DaVito 2016) menyatakan bahwa setiap orang menerapkan prinsip ekonomi ketika menjalankan hubungan dengan orang lain. Terdapat cost dan benefit yang diperhitungkan. Jika biaya yang dikeluarkan lebih banyak dibandingkan manfaat yang didapatkan, maka hal tersebut akan memengaruhi kualitas hubungan.

Menutup tahun 2022, Pak Jaka, Agus, serta warga Baduy Dalam, mengajarkan kami mengenai banyak hal, mulai dari kesederhanaan, nikmat sehat, nikmat waktu luang, hingga beradaptasi dengan alam. Alam sudah memberikan dukungan bagi keberlangsungan hidup bagi umat manusia dan sudah sepatutnya kita menjaga alam. Suatu hari nanti, kita juga akan kembali ke alam.

Ita Musfirowati Hanika / Dosen Komunikasi Universitas Pertamina