Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) gencar melakukan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Hal ini dinilai penting bagi masyarakat, apalagi di wilayah pedesaan.
Inovasi itu menjadi penting agar perpustakaan tidak hanya jadi 'menara gading' tempat para begawan kumpul. Kehadiran dan manfaat perpustakaan harus dirasakan masyarakat semua. Salah satunya, mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga
Kepala Perpusnas RI, Muhammad Syarif Bando, menjelaskan, transformasi perpustakaan digital tujuannya adalah untuk mempercepat terbentuknya manusia unggul dalam teknologi. Memiliki inovasi dan kreativitas. Program ini menyasar masyarakat yang termarjinalkan. Seperti masyarakat di daerah kumuh, masyarakat di daerah miskin, petani kecil, petambak kecil, buruh, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), sampai ibu-ibu rumah tangga.
Advertisement
"Melalui program ini, masyarakat diberi pelatihan untuk meningkatkan skill melalui buku-buku terapan yang ada di perpustakaan," kata Syarif beberapa waktu lalu.
Syarif juga menekankan, pelatihan dan peningkatan skill untuk masyarakat termarjinalkan sangat penting. Sebab, mereka selama ini miskin karena empat hal. Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan yang kurang. Kedua, inovasi dan kreativitas yang mimin. Ketiga, akses terhadap permodalan yang kurang. Keempat adalah kultur masyarakat yang lebih banyak bertutur dibanding membaca.
Untuk akses permodalan, Syarif menerangkan, sebenarnya Pemerintah sudah menyiapkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sangat besar. Namun, ketika masyarakat tidak memiliki skill untuk memproduksi barang dan jasa, KUR tersebut tidak terserap maksimal.
Karena itulah, peningkatan skill masyarakat ini sangat penting. Perpustakaan kemudian bergerak di bidang ini untuk meningkatkan skill masyarakat, yaitu dengan menyediakan buku-buku ilmu terapan. Untuk di desa, Perpusnas berharap, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa berkolaborasi dalam peningkatan skill masyarakat ini melalui buku-buku ilmu terapan yang disediakan perpustakaan.
"Sehigga masyarakat bisa dengan mudah menciptakan barang dan jasa," imbuhnya.
Syarif melanjutkan, dalam pelaksanaan Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial ini, pihaknya tidak pernah memandu masyarakat untuk memilih keahlian tertentu. Perpustakaan justru menyesuaikan dengan pilihan ekonomi masyarakat yang dikehendaki sesuai dengan potensi yang ada.
"Kami akan berkontribusi untuk mengoptimalkan dengan seluruh kemampuan untuk memfasilitasi sumber informasi yang relevan," ucapnya.
TPBIS yang dijalankan di perpustakaan tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa/kelurahan dinilai efektif dan manfaatnya dirasakan masyarakat.
TPBIS merupakan pendekatan pelayanan perpustakaan yang berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan. Sejak 2018-2022, program TPBIS telah melaksanakan pendampingan ke 34 provinsi, 399 kabupaten/kota, dan 3.535 desa/kelurahan, melaksanakan bimbingan teknis kepada 1.804 staf perpustakaan daerah dan 2.196 pengelola perpustakaan desa, serta melatih 79 master trainer dan 415 fasilitator daerah.
Tidak hanya aspek pengembangan mutu sumber daya manusianya, aspek bantuan fisik seperti bantuan koleksi siap pakai, rak buku, dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Selama empat tahun berjalan, program TPBIS telah menyentuh sebanyak 2.133.918 anggota masyarakat, yang mengikuti 85.776 kegiatan pelibatan masyarakat di perpustakaan. Hal ini menunjukkan animo masyarakat yang besar terhadap program ini.
Sudah banyak masyarakat yang merasakan manfaat positif program ini dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka. Indonesia, menurut Syarif, memiliki sumber daya alam melimpah namun belum dikelola dengan optimal. Oleh karena itu, masyarakat perlu dibekali inovasi dan kreativitas serta aksesibilitas digital untuk meningkatkan pengetahuannya.
Seiring perkembangan zaman, peran perpustakaan kini tidak lagi hanya mengelola koleksi buku. Paradigma perpustakaan kini sudah berubah, yaitu dengan mengedepankan transfer pengetahuan (transfer knowledge) kepada masyarakat. Paradigma yang dibangun perpustakaan adalah 10 persen mengelola koleksi, 20 persen pengelolaan knowledge, dan 70 persen transfer knowledge.
Penerapan 70 persen transfer knowledge ini sangat penting. Sebab, sebagaimana disampaikan UNESCO, bangku terakhir bagi semua orang yang tidak lagi di berada di pendidikan formal adalah perpustakaan.
"Jadi, untuk masyarakat pedesaan, yang rata-rata itu 90 persennya tidak menempuh pendidikan di perguruan tinggi, bisa meningkatkan skill dan kemampuannya dengan datang ke perpustakaan," ucapnya.
Â
Masyarakat Pedesaan Harus Maju
Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur Sumbar, Akmal Malik, sepakat dengan penjabaran yang disampaikan Kepala Perpusnas tentang transformasi perpustakaan berbasis inklusi.
"Bagaimana menghadirkan transformasi knowledge kepada masyarakat yang belum mendapatkan akses terhadap ilmu pengetahuan (berbasis digital)," ujarnya.
Hal itu, sambungnya, menyebabkan masyarakat pedesaan di Sumbar kesulitan mendapatkan skil untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
"Ada dua jenis kelompok masyarakat di sini yakni agraris dan maritim. Bagaimana (ilmu pengetahuan) menjadi nilai tambah dalam meningkatkan skill, keterampilan, inovasi dan kreativitas," beber Akmal.
Literasi berbasis inklusi memang sangat dibutuhkan masyarakat di pedesaan. Hal ini merupakan pilihan tepat dalam mengembangkan skill bagi petani, nelayan maupun ibu rumah tangga.
"Mengenai aspek permodalan, pj Gubernur Sumbar menjelaskan dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Sebagai contoh, di masyarakat maritim ada pohon kelapa. Tidak selamanya dijual dalam bentuk buahnya saja. Padahal serabutnya bisa bermanfaat. Batoknya dan pohonya juga sama," katanya.
Itulah yang menunjukkan bagaimana caranya literasi bekerja, yang mendorong masyarakat untuk produktif. Tentu harus ada akses untuk mencapai hal itu.
Advertisement