Sukses

Kisah Mbah Sani Jalan Kaki 30 Km Lawan Eksekusi

Mbah Sani membeli tanah dengan sah dan resmi, namun tiba-tiba hendak dieksekusi.

Liputan6.com, Pati - Bingung karena rumah yang 30 tahun ditinggali akan dieksekusi, Mbah Sani nenek 64 tahun mengadu ke kantor DPRD Pati.

Mbah Sani bahkan rela jalan sejauh 30 kilometer dari rumahnya Desa Ngemplak Lor, RT 4 RW 2, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati untuk mengadukan nasibnya dan sekaligus meminta bantuan ke DPRD Pati.

Mengadu ke kantor DPRD Pati dilakukan lantaran lansia itu berstatus janda dan hanya tinggal sendiri dirumahnya. Kepada Wakil Ketua DPRD Pati Hardi dan Wakil Ketua Komisi C DPRD Pati Irianto Budi Utomo mbah Sani mengaku tidak mendapatkan pendampingan hukum dari Kejaksaan Pati. 

Karenanya, janda miskin ini terancam kehilangan rumah yang sudah dihuninya sekitar 30 tahun seiring rencana eksekusi yang akan dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Pati.

Mbah Sani datang ke Gedung DPRD Pati didampingi salah seorang kerabat dan Sukarman kuasa hukumnya. 

Di gedung DPRD Pati, mereka diterima Wakil Ketua DPRD Pati Hardi dan Wakil Ketua Komisi C DPRD Pati Irianto Budi Utomo.

Saat ini pengadilan sudah bersiap melakukan eksekusi pengosongan lahan. Sehingga Mbah Sani terancam kehilangan tanah seluas 800 meter persegi tempat rumah yang selama ini dihuninya seorang diri.

"Tumbase duwet adol Tegal waris (beli tanah pakai uang hasil jual lahan warisan keluarga)," aku Mbah Sani.

Rumah itu dibeli saat anaknya masih kecil dan sekarang sudah berkeluarga dan memiliki anak.

Mbah Sani memasuki Gedung DPRD Pati dengan aksi berjalan kaki sebagai simbol kendati sudah lanjut usia masih punya semangat juang untuk mempertahankan tanah yang selama ini dia tinggali.

 

 

2 dari 2 halaman

Keseharian Mbah Sani

Mbah Sani selama ini tinggal di Desa Ngemplak Lor RT 4 RW 2, Kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati. Di dinding rumah terpasang lembar tanda kelompok warga miskin. 

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Pati No. 42/Pdt.G/2017/PN.Pti, gugatan tetangga Mbah Sani, yaitu Srigati, Hariyati, Haryanto, dan Haryatun dikabulkan.

Dalam putusan pengadilan itu, tanah beserta rumah yang selama ini ditinggali Mbah Sani masuk menjadi bagian dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 320 atas nama Kahar yang merupakan orang tua para penggugat.

"Waktu sidang saya tak mampu sewa pengacara, makanya bingung dan sekedar datang di pengadilan. Sedangkan mereka pakai jasa pengacara," kata Mbah Sani diterjemahkan kuasa hukumnya. 

Mbah Sani tidak rela jika tanah yang dulu dia dapatkan dengan uang hasil menjual tegal peninggalan orang tua itu jadi milik orang lain.

"Saya tidak mau kalau diusir. Saya sudah tinggal di sana 30 tahun lebih," kata dia.

Kuasa hukum Mbah Sani, Sukarman, berharap DPRD Pati menjalankan fungsi pengawasannya berkaitan dengan mekanisme sengketa tanah yang dihadapi Mbah Sani.

"Mbah Sani adalah korban dari sebuah mekanisme penerbitan hak atas tanah yang menurut saya banyak yang perlu dievaluasi," kata Karman.

Mbah Sani sudah punya akta jual beli dan sudah bayar pajak tanah tiap tahun.

"Namun demikian ada warga lain yang kemudian melakukan gugatan di pengadilan dan tanah yang dibeli Mbah Sani ini masuk menjadi bagian dari sertifikat penggugat," kata dia.

Karena putusan pengadilan sudah inkrah, lanjut dia, Mbah Sani terancam nasibnya.

"Pengadilan negeri Pati sudah memperingatkan supaya Mbah Sani mengosongkan lahannya. Maka kami hadir ke sini untuk melakukan pengawasan dan membuka bagaimana sejarah tumpang-tindih antara tanah Mbah Sani dengan tanah milik orang lain yang sama-sama mempunyai sertifikat hak milik," ucap dia.

Karman mengatakan akan bersurat dengan Bawas Mahkamah Agung.

Dia berharap Bawas Mahkamah Agung melakukan eksaminasi, menelaah apakah putusan Pengadilan Negeri Pati yang mengalahkan Mbah Sani sesuai dengan koridor hukum atau tidak.

"Ini tidak mempengaruhi peradilan, tapi kami ingin membuka kepada publik bahwa Mbah Sani ketika digugat tidak ada advokat yang mendampingi. Sehingga kemudian tidak mengajukan saksi-saksi ataupun bukti tertulis," kata dia.

Karman mengaku prihatin karena PN Pati memiliki posko bantuan hukum gratis, namun tidak merekomendasikannya kepada Mbah Sani.

Karman juga berharap, DPRD membantu untuk meminta PN Pati melakukan penundaan eksekusi.

"Sebab kami sedang dalam proses pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Paling tidak penundaan ini untuk menghormati proses memori PK yang kami lakukan," tandas dia.

Wakil Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah, Ari Wachid, yang turut mengawal kasus ini mengatakan, pihaknya setelah ini akan menyampaikan materi dari kuasa hukum Mbah Sani kepada perwakilan Partai Gerindra di Komisi III DPR RI.

"Kami punya perwakilan di sana, Pak Habiburrokhman dan juga pimpinan komisi. In syaa Allah beliau bijak menanggapi hal seperti ini. Terlebih Mbah Sani seorang warga miskin, janda, dan di pengadilan kemarin tidak ditemani kuasa hukum," kata dia.

Menurut Ari, ini adalah hal yang seharusnya tidak terjadi di Indonesia. Sebab Negara sudah mengalokasikan bantuan hukum gratis bagi warga yang tidak mampu.

Wakil Ketua II DPRD Pati Hardi berjanji akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Dia berharap bisa dilakukan PK terhadap putusan PN Pati.

"Insyaa Allah saya juga akan datang ke PN Pati untuk meminta agar eksekusi ditunda," ujar Ketua DPC Partai Gerindra Pati ini. 

Sebelumnya, saat dikonfirmasi wartawan, Humas PN Pati Aris Dwi Hartoyo mengatakan terkait Mbah Sani yang tidak didampingi advokat dan tidak direkomendasikan posko bantuan hukum, dalam hal ini hakim bersifat pasif.

Sebab menurutnya, perkara Mbah Sani adalah kasus perdata sehingga hakim bersifat pasif. Sehingga soal mau didampingi advokat atau tidak, itu sepenuhnya diserahkan kepada pihak Mbah Sani.

"Jika pihak Mbah Sani tidak puas dengan putusan majelis hakim silakan saja tempuh upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK)," kata Aris.

Video Terkini