Sukses

Di Balik Permainan Lato-lato yang Viral, Ada Teori Fisika Isaac Newton

Mainan Lato-Lato alias nok-nok kian digemari anak-anak pada masa kini.

Liputan6.com, Jakarta - Permainan lato-lato alias nok-nok kian digemari anak-anak pada masa kini. Tapi, tahukah kamu kalau mainan ini sebelumnya diciptakan buat alat pembelajaran fisika?

Melansir dari Washington Post, awalnya, clacker atau knockers, nama asli lato-lato di Amerika-ternyata memang dibuat sebagai alat pembelajaran ilmu fisika. Bandulan plastik pada mainan ini digunakan untuk menjelaskan pada anak mengenai Hukum Newton.

Hukum Newton merupakan hukum dasar yang merumuskan pengaruh gaya terhadap perubahan gerak atau perpindahan kedudukan suatu benda.

Jika dibenturkan, bola-bola pada lato ini akan memantul, memukul bola lainnya secara terus-menerus sebelum berhenti.

Sesuai dengan Hukum Newton 3 yang berbunyi, "Jika benda I mengerjakan gaya terhadap benda II, benda II mengerjakan gaya pada benda I yang besarnya sama, tetapi dengan arah yang berlawanan dengan arah gaya dari benda".

Lato-lato juga menerapkan Hukum Fisika yang disebut Tumbukan Lenting Sempurna, yaitu tumbukan di mana tidak ada kehilangan energi kinetik setelah tumbukan, momentumnya tetap, dan tidak berubah atau disebut Hukum Kekekalan Momentum.

Hukum ini terjadi ketika dua benda bertumbukan dari arah berlawanan, maka benda tersebut akan berpisah dan kembali ke arah dia berasal dengan kecepatan yang sama seperti sebelum ia bertumbukan.

2 dari 3 halaman

'Bola dari Neraka', Julukan Lato-lato

Lato-lato bukanlah permainan yang hanya ada di Indonesia. Mainan ini juga pernah jadi tren di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, permainan lato-lato pernah disebut mainan ‘Bola dari Neraka’.

Lato-Lato yang dimainkan dengan cara mengayunkan kedua bola sehingga keduanya saling memukul dan mengeluarkan suara ini ternyata pernah tak disukai oleh sebagian warga Amerika.

Suara yang dihasilkan pernah membuat para orang tua di Amerika marah. Bagi mereka, mainan ini berisik dan mengganggu, apalagi jika dimainkan dan dibunyikan terus-menurus.

Meski suara tersebut turut menjadi suara yang membuat masa kanak-kanak berharga, menurut laporan The Washington Post pada Oktober 1990, pada masa itu, guru-guru di sejumlah sekolah Amerika Serikat setempat bahkan melarang mainan ini masuk ke sekolah-sekolah dasar.

Mengutip National Geography Indonesia, pada tahun tersebut, toko-toko di Museum Udara & Luar Angkasa Smithsonian Institution dan Museum Sejarah Amerika telah menjual 12.000 lato-lato asli dengan harga sekitar Rp70 ribu per mainan.

Para pedagang kaki lima di Washington bahkan pernah membuat mainan tiruan berwarna merah muda, hijau, dan kuning yang lebih murah, dengan harga sekitar Rp18 ribu–yang membuat mainan ini semakin terkenal di Amerika Serikat kala itu.

3 dari 3 halaman

Infografis