Liputan6.com, Solo - Kue moho merupakan salah satu makanan khas Imlek di Solo, Jawa tengah. Kue moho atau hwat kwee menjadi kudapan yang wajib hadir di meja makan sembahyang leluhur saat Imlek bagi etnis Tionghoa di Solo dan sekitarnya. Awalnya, kue ini merupakan adat kebiasaan suku Hokkian di Solo, lalu berkembang dan menyebar menjadi kebiasaan keturunan Tingkok lainnya di Jawa tengah.
Tampilan kue moho mirip dengan bolu kukus, namun memiliki rasa yang manis dengan tekstur yang padat. Cita rasa kue mohon sepintas justru mendekati kue bakpao.
Kue moho dibuat dari adonan tepung terigu yang kemudian dibentuk memanjang. Setelah itu, adonan tepung tersebut dibuat pola bundar mengembang dan dikukus selama 10 menit.
Advertisement
Baca Juga
Agar menambah warna kue moho, diberikan beberapa varian pewarna makanan, seperti coklat dan merah muda. Kue moho menjadi kue tradisional yang dibuat secara turun-temurun di Sudiroprajan atau Balong Pecinan Solo, yang dulunya merupakan pusat kuliner.
Sekitar 1960, daerah Sudiroprajan menjadi pemasok utama kue moho ke semua pedagang jajanan di pasar tradisional di Kota Solo. Pembuatan kue Moho sebenarnya cukup sederhana.
Kue ini dibuat dari adonan tepung terigu yang dicampur tape, kemudian didiamkan mengembang semalam selama 12 jam. Keesokan harinya, tepung terigu yang sudah mengembang di tekan-tekan dan dicampur dengan terigu yang sudah diberi gula, cokelat meses dan yang lainnya.
Selanjutnya adonan kue moho dimasukkan ke dalam loyang yang serupa dengan cetakan bolu. Lalu adonan dikukus selama 30 menit agar mengembang, matang serta empuk.
Menurut kepercayaan Tionghoa, ada beberapa pantangan yang harus dipatuhi dalam membuat kue ini. Antara lain, wanita yang sedang haid tidak boleh ikut dalam pembuatan kue ini karena dianggap sedang tidak bersih.
Selama pembuatan juga tidak boleh berkata-kata jelek, dan harus berhati gembira. Jika pantangan tersebut dilanggar, kuenya tidak akan merekah.