Liputan6.com, Yogyakarta - Tak hanya terkenal sebagai kawasan peninggalan sejarah, Kotagede juga terkenal dengan kuliner tradisionalnya. Tak hanya lezat, makanan-makanan tersebut juga memiliki makna filosofis yang mendalam, salah satunya legomoro.
Legomoro merupakan penganan yang mirip dengan lemper. Keduanya sama-sama terbuat dari ketan dengan isian daging ayam dan dibungkus daun pisang.
Perbedaan keduanya terletak pada cara membungkusnya. Jika lemper dibungkus dengan cara melilitkan daun pisang dan masing-masing ujungnya dikunci dengan lidi, maka berbeda dengan legomoro.
Advertisement
Legomoro dibungkus dengan daun pisang yang diikat dengan beberapa tali bambu yang disebut tutus. Umumnya legomoro diikat dengan dua hingga tiga tutus.
Baca Juga
Konon, nama legomoro berasal dari bahasa Jawa, yakni lego (lega) dan mara (datang). Gabungan dua kata tersebut diartikan sebagai kadatangan yang membawa kelegaan hati atau datang dengan hati yang lega.
Dahulu, legomoro tidak dijual bebas di pasar-pasar manapun. Penganan ini hanya dibuat saat seseorang menggelar hajatan atau pada waktu-waktu tertentu saja, seperti pernikahan.
Menyuguhkan legomoro pada para tamu juga mengandung makna tersendiri. Artinya, si empunya hajat atau tuan rumah memiliki hati yang lega dan senang.
Legomoro juga sering kali dijadikan salah satu unsur jajan pasar dalam prosesi seserahan pernikahan dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Hal tersebut juga memiliki makna yang serupa, yakni kedatangan keluarga mempelai pria penuh dengan kelegaan dan keikhlasan hati.
Legomoro juga sering kali hadir saat hari raya Idulfitri. Saat Lebaran, legomoro disimbolkan sebagai pengharapan agar semua orang yang berkunjung ke rumah hatinya menjadi lega, terutama ketika usai sungkeman untuk saling maaf memaafkan.
Saat ini, legomoro bisa dijumpai di pasar manapun tanpa perlu menunggu hadirnya hari-hari penting, salah satunya di Pasar Kotagede. Jajanan ini memiliki cita rasa yang gurih.
(Resla Aknaita Chak)