Sukses

Membedah Chairil Anwar Lewat Buku 'Aku' Karya Sjuman Djaya

Chairil Anwar merupakan seorang sosok penyair yang tak lepas dari buku. Ia menulis banyak sajak semasa hidupnya.

Liputan6.com, Jakarta - Dunia seni sastra Indonesia langsung berubah saat Chairil Anwar muncul dengan sajak-sajaknya. Ia telah membuka kesadaran baru, napas seni yang baru bagi para kritikus sastra, penerbit, dan seniman sezamannya dan sesudahnya. 

Sebagai seorang penyair besar yang eksentrik di Indonesia dan terbilang masih sangat muda, Chairil Anwar mampu mengumpulkan 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.

Pria dengan julukan 'Si Binatang Jalang' ini lahir di Medan, yang kala itu masih Sumatera Timur, Hindia Belanda, pada 26 Juli 1922. Chairil Anwar wafat pada 28 April 1949, karena penyakit paru-paru yang dideritanya. Pemakaman Umum Karet menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.

Sjuman Djaya menceritakan perjalanan hidup Chairil Anwar dengan sangat apik di buku Aku, mulai dari masa kecil hingga kematian Chairil Anwar. Sjuman Djaya memaparkan bahwa sosok suami Hapsah ini merupakan manusia yang sedikit sekali menangis, kutu buku, pantang menyerah, terlibat dalam perseteruan Belanda-Indonesia di Surabaya.

Sejak kecil, Chairil Anwar begitu akrab dengan neneknya. Hal ini membuatnya sangat sureeche ketika sang nenek meninggal dunia. Kepedihan itu digambarkan oleh Chairil Anwar melalui sebuah sajak.

Pada masa remaja, Chairil Anwar banyak menghabiskan waktu di rel kereta, bagi dirinya sendiri, jiwa seorang penyair harus bebas dan terhindar dari segala aturan saut paut. Dirinya hobi keluyuran, menyolong buku dari berbagai tempat.

Meski berpenampilan urakan, tampan, gigih, hobi keluyuran, Chairil dikenal sebagai pemuda dengan banyak penggemar terutama di kalangan gadis-gadis. Tak heran jika Chairil memiliki banyak 'Gebetan'.

 

2 dari 2 halaman

Kebiasaan Keluyuran

Kedua orang tua Chairil bercerai sejak Chairil masih kecil. Ayahnya bernama Toeloes dan Ibu Saleha. Chairil memutuskan untuk tinggal berdua dengan ibunya.

Tak sedikit saja mendapat nafkah dari ayahnya, sang ibu habis-habisan dan payah memenuhi kebutuhan hidupnya bersama Chairil. Semakin bertambah usia, Ibu hanya bisa mengandalkan perhiasan-perhiasan yang tersisa. Melirik dan menilik kondisi Ibu semakin ringkih.

Chairil mencari cara agar Ibunya tak lagi kerja dengan menerjemahkan tulisan-tulisan milik Belanda, Jepang dan negara lain. Terkadang, Chairil menyerahkan terjemahan itu kepada siapapun yang mau menerima dan memberinya upah. Kadang ke temannya, kadang ke penerbit, juga sporadis ke tukang becak.

Chairil Anwar jatuh cinta pada perempuan yang ditemuinya pada saat perang di Surabaya. Ia bertemu kembali kepada gadis pujaan hati itu di tepi sawah. Tanpa membuang waktu pernikahan Chairil dan Hapsah digelar secara dadakan, hanya disaksikan oleh beberapa saksi dan digelar dengan sederhana sekali.

Kebiasaan Chairil Anwar yang suka keluyuran, Chairil Anwar dicerai oleh Hapsah. Namun, sebelumnya, Hapsah menjemput anak dari pernikahannya pada 6 Agustus 1946. Dan dikaruniai anak semata wayang dengan nama Evawani Alissa, dipanggil Eva.

Sebelum kematian Chairil Anwar, dia sempat bercita-cita menjelajahi Nusantara bersama gadis kecil yang gemar membaca sajak Chairil. Chairil menulis sajak sebelum kematiannya dengan judul 'Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi!.