Liputan6.com, Padang - Musik gamad merupakan salah satu jenis musik tradisional Minangkabau yang berkembang di daerah pantai barat Sumatera Barat (Minangkabau Pesisir). Musik yang lahir dari beberapa akulturasi budaya ini masih hidup hingga sekarang, khususnya di Kota Padang.
Menggabungkan vokal dan instrumental, musik ini diisi dengan biola, akordeon, gitar, kontras bass petik, marakas, dan gendang. Adapun vokal yang dinyanyikan berupa pantun berbahasa Minangkabau.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, secara historis musik gamad ini muncul di Kota Padang karena ada Bandar Pelabuhan Kota Padang. Lokasi tersebut menjadi pusat perdagangan Minangkabau yang pada beberapa abad lalu banyak didatangi beragam etnis dari berbagai benua, seperti Eropa, Asia, dan Timur Tengah.
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut mempengaruhi lahirnya musik gamad yang memadukan nilai akulturasi dari beragam etnis dan kultur. Bahkan, kesenian ini selalu dihubungkan dengan misi dagang Portugis di pantai barat Minangkabau.
Konon, lagu 'Kaparinyo' yang menjadi lagu utama dalam pertunjukan musik gamad berasal dari kata 'Kapa Rinho'. Kapa Rinho merupakan nama kapal dari Portugis yang pernah berlabuh di Bandar Pelabuhan Kota.
Dalam pertunjukannya, khususnya di Kota Padang, lagu Kaparinyo merupakan lagu pembuka di setiap pertunjukan. Lagu tersebut dimainkan dalam tempo joget yang riang.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Para Perantau Minang Kembali ke Malaka
Peneliti dari Universitas Gajah Mada, Victor Ganap dan Martarosa mengatakan, masuknya Joget Portugis Melayu ke Minangkabau dibawa oleh para perantau Minang yang kembali dari Malaka. Namun, sebagian besar menganggap tarian atau joget Portugis ini diperkenalkan oleh kelompok 'Portugis' Tamil dari Malaka yang berimigrasi ke Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Teori tersebut didukung oleh keberadaan komunitas 'Portugis' Tamil di pesisir Minangkabau. Komunitas tersebut merupakan salah satu kelompok masyarakat pendukung musik gamad.
Pada 1920, pagelaran musik gamad dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Musik ini pun hanya digelar di dua tempat yang keduanya telah mendapat izin pemerintah Belanda. Tempat tersebut adalah Sri Darma (sekarang gedung Bagindo Azis Chan) dan Gedung Bulat (sekarang gedung Juang 45 di Pasar Mudik).
Pada masa awal kemerdekaan, musik gamad masih dimainkan. Pada 1963, berkat perhatian Walikota Padang yang saat itu dijabat Zainal Abidin Sutan Pangeran, gamad diperlombakan di kantor Walikota Padang.
Sayangnya, pada masa perang PRRI musik gamad hilang dari peredaran. Setelah pemberontakan PKI pada pertengahan 1960-an, musik gamad kembali terdengar ketika alat musik elektrik sudah mulai digunakan.
Selanjutnya pada 1995, musik gamad mengalami kemunduran akibat banyaknya masyarakat yang beralih ke orgen tunggal. Hal tersebut menyebabkan eksistensi komunitas Hikagapa (Himpunan Keluarga Gamad Kota Padang) tak bertahan lama.
Hal ini juga membawa dampak negatif terhadap kehidupan musik gamad, sehingga di penghujung 2006 dan awal 2007, Hikagapa mengalami kemunduran. Beberapa tahun kemudian, muncul grup atau paguyuban baru bernama Hikasmi (Himpunan Kekeluargaaan Seniman Musik Indonesia) yang berlokasi di Gelanggang Olah Raga (GOR) Haji Agus Salim.
Mereka menggelar berbagai kegiatan seni, seperti dendang tradisi, talempong, musik gamad, musik pop, jazz, dan musik dangdut. Hikasmi pun menjadi wadah baru untuk bakat-bakat seni masyarakat Kota Padang, khususnya seni pertunjukan, seperti musik gamad, musik pop, musik dangdut, dan dendang tradisi.
Paguyuban tersebut juga membaurkan generasi muda dan generasi tua. Mereka saling berbagi pengalaman dalam hal pengetahuan tentang musik. Gamad juga menyatukan antar kampung di Kota Padang.
(Resla Aknaita Chak)
Advertisement