Sukses

Kondisi Kritis Air Tanah di Sejumlah Lokasi Kawasan Bandung Raya

Air tanah artetis di Kawasan Bandung turun hingga 40 meter di bawah permukaan tanah.

Liputan6.com, Bandung - Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan kondisi air tanah di Kawasan Bandung Raya di beberapa lokasi telah mengalami kondisi kritis hingga rusak.

Indikasi kondisi tersebut ditunjukkan penurunan muka air tanah yang terus berlanjut berdasarkan sumur pantau air tanah, muka air tanah artesis di Kawasan Bandung Raya telah turun lebih dari 40 meter di bawah muka tanah.

Menurut Kepala PATGTL Badan Geologi Kementerian ESDM, Rita Susilawati, untuk kondisi di dataran Bandung, air tanah dapat disebut aman bila muka air tanah artesis berada pada kedalaman kurang dari 20 meter di bawah muka tanah setempat.

"Zona konservasinya ada yang aman artinya bisa digunakan kemudian ada yang sudah kritis. Kalau kritis itu sudah harus lebih berhati-hati, ada juga yang sudah rusak artinya sudah merah. Nah di Bandung ini sudah banyak yang kritis dan rusak. Penurunan muka air tanahnya sudah lebih dari 80 persen, cuman angkanya bervariasi tadi, ada yang 100 meter tergantung dari muka awalnya," ujar Rita dalam keterangan resminya Bandung, Jumat, 3 Februari 2023.

Rita mengatakan otoritasnya kini masih mengkaji keterkaitan antara penurunan muka tanah dengan penurunan muka air tanah di Kawasan Bandung Raya. Pasalnya, penurunan muka air tanah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan muka tanah atau sering disebut dengan amblesan tanah.

Data terakhir yang dimiliki Badan Geologi, Rita menerangkan wilayah yang muka air tanahnya masuk ke kategori rusak ada di wilayah Rancaekek, Leuwigajah, serta beberapa wilayah lain.

"Penurunan muka air itu antara lain disebabkan oleh pengambilan air tanah untuk berbagai keperluan, terutama industri, hotel, dan lainnya," kata Rita.

Rita menegaskan izin pengambilan air tanah untuk berbagai keperluan selama ini ada di pemerintah daerah masing-masing. Namun kini perizinan itu berada di Badan Geologi, Kementerian ESDM.

Rita memastikan otoritasnya akan selektif untuk menerbitkan izin pengambilan air tanah dalam skala besar, termasuk di wilayah Cekungan Air tanah (CAT) Bandung–Soreang yang wilayahnya meliputi Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan sekitarnya. Rita mengaku bakal berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan moratorium pada wilayah yang mengalami kerusakan air tanah di wilayah Bandung Raya.

"Air merupakan kebutuhan primer untuk kehidupan masyarakat sehingga perlu kebijaksanaan guna mengatasi kondisi penurunan muka air tanah tersebut," sebut Rita.

 

2 dari 3 halaman

20 Cekungan Air Tanah Rusak

Pada 22 Maret 2021, Kepala sub Koordinator Air Tanah Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PAGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM, Budi Joko Purnomo, menyatakan sebanyak 20 cekungan air tanah di Indonesia berstatus rawan hingga rusak.

Cekungan air tanah ini termasuk dari 421 cekungan air tanah yang terakhir didata oleh otoritas tersebut.

Menurutnya, sebagian besar kondisi cekungan air tanah yang berstatus rawan hingga rusak ini berada di wilayah perkotaaan. Budi mengatakan wilayah perkotaan tersebut banyak terdapat proyek pembangunan.

“Setahu saya dari 421 cekungan air tanah itu yang istilahnya perlu mendapatkan perhatian atau kondisinya sudah ada yang dikatakan rawan, kritis atau rusak itu sekitar 15 - 20 cekungan air tanah. Ya memang di kota - kota besar seperti Bandung, Jakarta kemudian Semarang, kemudian itu Serang, Tangerang ada. Metro, Kota Bumi di Lampung, Palangkaraya, Banjarmasin di Kalimantan serta Ngawi, Ponorogo,” ujar Budi kepada Liputan6 waktu itu.

Budi mengatakan untuk wilayah Ngawi dan Ponorogo pemicu kerusakan cekungan air tanah ini terjadi karena penggunaan untuk kawasan irigasi. Budi menjelaskan khusus di Jawa Barat, lokasi cekungan air tanah yang kini kondisinya kritis atau rusak antara lain cekungan air tanah Bandung - Soreang, Bogor dan Purwakarta - Bekasi.

Namun ucap Budi, kondisi cekungan air tanah selebihnya masih dalam keadaan baik. Terutama untuk daerah di luar Pulau Jawa yang masih banyak hutannya.

“Kalau di daerah hulu rata - rata hutannya masih ada, kalau di daerah Jawa hutannya sudah habis. Seperti contoh di Kabupaten Bandung Barat, memang sudah ada regulasinya ada rasio terbangun 30 persen tapi praktiknya seperti apa ? Tidak tahu persis,” kata Budi.

Terpenting sebut Budi, apapun kegiatannya pasokan air tanah yang masuk di kawasan hutan atau gunung (hulu) tersebut berkurang. Sementara di daerah lembahnya atau pengambilan air tanah diambil secara serampangan.

 

3 dari 3 halaman

Diimbau Berhemat

Untuk itu masyarakat umum diimbau agar berhemat saat menggunakan air. Setiap halaman rumah diminta agar tetap menyediakan area tanah sebagai resapan air.

“Sementara untuk kalangan industri, ikut berpartisipasi dalam menjaga konservasi air tanah. Misalnya dengan membuat sumur resapan atau sumur imbuhan untuk mengimbangi sekian meter per detik yang mereka ambil, ada juga mereka imbuhkan kembali ke dalam air tanah,” jelas Budi.

Alasannya ungkap Budi, proses ketersediaan air tanah ini cukup lama meski kerap turun hujan. Dibutuhkan waktu puluhan agar ketersediaan air tanah kembali ke posisi ideal.

Budi menerangkan air hujan yang jatuh ke tanah, diserap ke wilayah hulu atau dataran selama satu hingga dua tahunan. Untuk itu kapasitas wilayah resapan di daerah imbuhan harus terjaga.

“Jadi air hujan itu tidak banyak diserap malah jadi air limpasan yang sering menjadi banjir dan tanah longsor. Dan itu sebanyak mungkin harus diresapkan ke air, sehingga mengimbuh air tanah. Itu prosesnya lama, terutama tanah dalam,” ucap Budi.

Budi melanjutkan beda halnya dengan air yang diserap oleh tanah dangkal. Hal itu dapat berproses secara langsung, terutama di daerah vulkanik atau gunung api atau volume air di sumur gali masyarakat naik.

Namun, untuk resapan air di tanah bagian dalam yang diambil oleh industri atau irigasi pertanian, Budi menambahkan butuh waktu yang lama untuk mengimbuhnya.