Liputan6.com, Yogyakarta - Braen merupakan sebuah sarana dakwah bagi masyarakat Jawa Tengah yang berisi dalil-dalil atau hujjah-hujjah. Masyarakat setempat mengenal braen sebagai seni penyuwunan atau seni doa permohonan.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menggunakan braen sebagai sarana untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan braen bahkan hampir sejajar dengan tradisi selawat (membaca selawat) atau Perjanjen (Al-Barzanji).
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, nama ‘braen’ berasal dari kata 'birai', yakni semangat. Braen juga berasal dari kata dalam bahasa Arab , yakni 'baroghin' yang bermakna dalil, tanda, atau hujjah.
Advertisement
Baca Juga
Karena termasuk sebagai seni permohoan, braen hanya dimainkan pada saat tertentu. Permohonan dalam seni braen diucapkan dengan cara dilagukan atau dinyanyikan.
Doa permohonan ini dipimpin oleh seorang perempuan yang diberi gelar Rubiyah. Perempuan yang mendapat gelar ini adalah keturunan Syekh Makhdum Hussein.
Kesenian braen juga merupakan pencampuran budaya Islam dan Budaya Jawa. Unsur budaya Jawa pada braen terlihat pada penggunaan sesaji atau sajen sebagai perlengkapan ritual.
Bagi masyarakat setempat, sesaji merupakan suatu bentuk menghormati dan menghargai leluhur. Sesaji tersebut umumnya berupa alat pedupan (tempat untuk membakar kemenyan), kemenyan (untuk dibakar dalam pedupan), minyak wangi, kelapa hijau muda, air dingin, rokok menyan atau cengkeh, tumpeng, kembang boreh, telur ayam, dan uang.
Sementara itu, unsur Islam dalam braen terlihat pada syairnya yang mengandung nilai-nilai Islam, seperti ketauhidan, sejarah, dan pendidikan Islam. Selain itu, braen juga berisi doa dalam bentuk syair.
Syair pada braen pun dilantunkan dalam empat bahasa, yaitu bahasa Jawa, bahasa Arab, bahasa Melayu, dan bahasa Sunda. Braen masih dimainkan dan dilestarikan hingga saat ini, terutama pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
(Resla Aknaita Chak)
Â