Sukses

Dijual Bebas dan Murah, BBM Malaysia Guncang Pengusaha Minyak di Nunukan

BBM asal Malaysia yang diperjualbelikan di wilayah perbatasan dikeluhkan oleh pengusaha. akibat dijual dengan harga murah, BBM Malaysia cukup mempengaruhi penjualan BBM Indonesia.

Liputan6.com, Nunukan - Keberadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diperjualbelikan bebas di wilayah perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan cukup meresahkan para pengusaha. Keberadaan BBM negeri jiran di wilayah Sebatik disinyalir didatangkan scara ilegal dan diperjualbelikan lebih murah dibandingkan BBM asal Indonesia.

Atas persoalan itu, sejumlah pengusaha minyak di Sebatik mendatangi kantor DPRD Nunukan untuk mengeluhkan persoalan tersebut. Mereka memprotes mudahnya BBM asal Malaysia masuk ke wilayah Sebatik dan berpotensi mengancam eksistensi APMS di Pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini.

“BBM Malaysia ini memang lebih murah (harganya) dibandingkan BBM dari Pertamina. Karena banyak beredar di Sebatik, (akibatnya) stok kita lama habis. Itu akan berpotensi pada pengurangan suplai karena pengambilan lebih lama juga,” kata salah satu juru bicara dan perwakilan pengusaha APMS Pulau Sebatik, Yuliana.

Menurut dia, keberadaan BBM Malaysia yang diperjualbelikan secara bebas akan memengaruhi omzet setiap APMS di Sebatik. Pendapatan negara dari  PPh Pasal 22 akan ikut menurun, karena pungutan pajak dihitung saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).

Kondisi itu, kata dia, harusnya mendapat perhatian dari semua kalangan. Karena apabila terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan sejumlah penguasaha APMS akan merugi dan berpotensi gulung tikar alias tutup.

“Karena akan memengaruhi pada pendapatan pajak daerah juga. Omzet kami itu menurun hingga 70 persen sejak November 2022 lalu. Karena masyarakat juga, pasti lebih pilih BBM Malaysia karena harga murah dibandingkan BBM kita (dari Indonesia),” ucapnya.

Dia mengungkapkan, harga eceran BBM Malaysia diperjualbelikan dengan harga Rp10 ribu per botol. Dengan harga itu, akan mempenagruhi penjualan BBM di tiap APMS Sebatik, meskipun sebenarnya harga Pertalite sama-sama Rp10 ribu per liter.

Kios-kios atau sub koordinator yang selama ini bekerjasama dengan APMS mulai menghentikan perjanjian kontrak kerja lantaran penjualan BBM Pertalite kalah bersaing, begitu pula bagi penyalur Pertamina berskala kecil nonsubsidi seperti  Perthashop.

“BBM Malaysia sekelas Pertamax itu dijual eceran Rp10.000 per liter, sedangkan kios-kios jual BBM Pertalite Rp 11.000 per liter, apalagi botolan sampai Rp13.000,” katanya.

Tidak hanya itu, keberadaan BBM Malaysia juga memengaruhi distribusi BBM asal Indonesia ke wilayah Sebatik. Yang dulunya bisa mengambil stok BBM sebanyak 300 ton per bulan. Kini APMS miliknya hanya mengambil 120 ton saja. Sejak 31 Desember 2022 lalu, lanjut Yuliana, juga terjadi pemotongan alokasi kuota BBM.

Awalnya jatah BBM untuk APMS miliknya dipotong 50 ton, lalu kembali turun 45 ton. Bahkan, pertengahan Januari 2022, APMS miliknya mengalami penurunan kuota lagi sebanyak 40 ton dan sekarang menjadi 30 ton.

"Pemotongan ini tidak ada pemberitahuan kepada kami (dari Pertamina). Mungkin bisa saja, bulan depan ini dikurangi jatah (BBM) untuk kami. Kami mohon ini disikapi serius. Karena akan mempengaruhi suplai BBM dari Pertamina ke Nunukan,” kata Yuliana.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Tanggapan DPRD Nunukan

 

Menanggapi maraknya BBM asal Malaysia yang diperjual belikan di kawasan perbatasan, DPRD Nunukan meminta agar pemerintah segera bertindak. Terutama agar bisa mengatur peredaran BBM Malaysia yang disinyalir didatangkan secara ilegal. Karena kondisi itu, tentu akan merugikan bagi para pengusaha lokal dan berdampak pada pendapatan negara.

“Ini harus diawasi seketat mungkin. Supaya BBM dari sana (Malaysia) tidak masuk secara bebas. Karena jangan sampai ini terus dibiarkan, bahaya buat pengusaha lokal kita,” kata salah satu anggota DPRD Nunukan, Hamsing.

Hamsing mengutarakan, ia tak membantah jika kondisi di Kabupaten Nunukan, khususnya di wilayah perbatasan masih memiliki ketergantungan barang yang berasal dari Malaysia. Diakuinya produk-produk Malaysia masih menjadi primadona atau pilihan masyarakat yang ada di wilayah perbatasan.

“Memang butuh waktu untuk menghilangkan semua ini. Tapi tetap akan kita coba bahas dengan instansi lainnya. Kedepan, persoalan BBM ini akan kita bahas juga dengan BPH Migas, Pertamina dan Bea cukai,” ucapnya.

Hal yang sama juga disampaikan Wakil Ketua DPRD Nunukan, H. Saleh. Ia meminta agar instansi terkait baik dari pemerintah daerah dan Kepolisian, TNI dan Bea Cukai dapat duduk bersama membahas pengendalian masuknya BBM Malaysia.

Kuota BBM untuk para pengusaha APMS juga, ditegaskannya tidak bisa dikurangi agar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, lanjut dia, kuota untuk APMS di perbatasan bisa ditambah agar dapat mengatasi kelangkaan terkhusus bagi wilayah pedalaman.

“Tapi saya juga tidak menyalahkan masyarakat kita yang menjual BBM asal Malaysia. Karena mereka juga kan cari peluang usaha. Tapi kalau ini dibiarkan secara terus menerus, maka akan menimbulkan masalah juga. Makanya ini harus ada pembahasan bersama dengan instansi terkait lainnya,” katanya.