Liputan6.com, Yogyakarta - ASEAN Tourism Forum (ATF) 2023 baru saja digelar di Yogyakarta, pada 2-5 Februari lalu. Dalam forum kerja sama regional antara negara-negara anggota ASEAN tersebut, para delegasi mengenakan batik nitik Yogyakarta.
Mengutip dari batikindonesia.com, batik nitik merupakan batik khas Yogyakarta yang memiliki motif tertua. Batik ini memiliki motif yang melambangkan keanekaragaman, seperti daun, sulur, dan bunga.
Motif-motif batik tersebut digambarkan membentuk pola geometris. Batik ini dibuat dengan teknik dobel ikat yang dikenal dengan 'patola' atau 'cinde'.
Advertisement
Tidak seperti corak batik khas Yogyakarta lainnya yang banyak diciptakan oleh bangsawan, batik nitik justru merupakan buah karya masyarakat kecil. Hal tersebut dipicu oleh kejadian pada masa penjajahan Belanda.
Baca Juga
Pada era 1600-an, masyarakat cenderung bergantung pada kain impor dari India berupa kain tenun patola India atau cinde. Belanda yang saat itu menduduki Nusantara pun melakukan monopoli terhadap penjualan kain tenun patola.
Pada 1700-an, harga yang semakin tinggi membuat angka penjualannya menurun. Hal ini membuat masyarakat tidak bisa membelinya.
Akhirnya, para perempuan Jawa di Yogyakarta termotivasi untuk memproduksi kain sendiri. Mereka kemudian membuat batik dengan motif patola India sebagai inspirasi.
Batik tersebut ternyata banyak diminati. Selain lebih murah, batik nitik juga memiliki daya tarik dan keindahan sendiri.
Meski awalnya terinspirasi dari tenun patola India, tetapi motif batik nitik sebenarnya juga mengandung makna filosofis tersendiri. Corak titik-titik pada desain motifnya menyiratkan makna hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Sementara unsur-unsur alam, seperti bunga, daun, dan sulur, mewakili keberagaman alam yang hidup berdampingan secara seimbang dengan manusia. Jika dirunut, maka tersirat adanya makna keseimbangan manusia, Tuhan, dan alam.
Motif batik nitik bahkan mencapai 70 motif dengan kekhasannya masing-masing. Beberapa motif tersebut di antaranya, nitik cakar, nitik jonggrang, sekar kemuning, kembang kenthang, dan lainnya.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak