Liputan6.com, Bali - Sejumlah seniman di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng, Bali, masih menekuni profesinya sebagai pelukis. Salah satu karya unik yang mereka ciptakan adalah lukisan wayang kaca.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, lukisan yang cukup rumit ini mulai muncul pada 1927, yakni saat masa penjajahan. Meski tak semua masyarakat menjadi pelukis, tetapi membuat lukisan wayang kaca juga menjadi salah satu mata pencaharian di desa tersebut selain sektor agraris.
Sebagian masyarakat juga hanya menjadikan aktivitas melukis sebagai hobi, bukan sumber penghasilan. Saat mulai muncul pada 1927, bentuk kreativitas ini dibawa oleh seorang pemahat wayang kulit, Jero Dalang Diah.
Advertisement
Saat itu, ada seseorang yang membawa lukisan berobjek wanita Jepang yang bermediakan kaca. Lukisan tersebut dibawa langsung dari Jepang.
Baca Juga
Dalang Diah pun diberi tawaran untuk membuat lukisan serupa yang berobjek wayang. Ia menerima tantangan itu dengan catatan harus mengorbankan lukisan dari Jepang tersebut.
Ia kemudian mengikis keseluruhan cat untuk mengetahui teknik pembuatannya. Akhirnya, ia berhasil menyelesaikan tantangan lukisan kaca tersebut.
Sejak saat itu, kemahiran melukisnya pun menular ke keluarga dan warga di sekitar tempat tinggalnya. Hingga saat ini, para warga masih melestarikan lukisan ini sebagai salah satu ciri khas Buleleng, selain Desa Nagasepaha.
Sementara itu, corak seni lukis kaca yang dikembangkan Jero Dalang mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Pada 1950-an, Jero Dalang Diah mendapat pesanan lukisan kaca berupa pemandangan alam dari seorang pencinta lukis kaca Desa Nagasepaha.
Sang pemesan menunjukkan lukisan pemandangan alam gaya jelekong (Jawa Barat) atau sukaraja (Jawa Tengah). Dengan rasa penasaran, Jero Dalang Diah pun menyanggupi permintaan tersebut.
Dari hasil eksperimennya, lahirlah lukisan kaca pertama dengan pemandangan alam yang naturalistik. Meski demikian, lukisan dengan objek wayang masih dibuat hingga kini.
Pada dasarnya, secara proporsi bentuk figur pewayangan Nagasepaha lebih pendek dibandingkan figur wayang dari Bali selatan, sehingga tampak lebih gemuk. Namun, cerita yang diangakat tetap sama, yaitu Mahabrata dan Ramayana. Namun, dalam perkembangannya, generasi penerus di Desa Nagasepaha mulai mengembangkan cerita kehidupan masyarakat, tetapi tetap menjaga keaslian teknik maupun gaya dekoratif lulisan kaca.
(Resla Aknaita Chak)