Liputan6.com, Jepara - Pesta lomban merupakan acara puncak dari pekan syawalan masyarakat Jepara, Jawa Tengah. Kegiatan ini diselenggarakan pada 8 Syawal atau satu minggu setelah Hari Raya Idulfitri.
Pesta lomban juga sering disebut dengan Bodo Kupat lantaran kupat lepet selalu menjadi hidangan yang hadir di acara ini. Biasanya, kupat lepet juga disandingkan dengan opor dan sambel goreng.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, kupat atau ketupat memang menjadi makanan tradisional yang tidak asing bagi masyarakat Jawa Tengah. Terbuat dari beras yang dibungkus daun kelapa muda atau janur, kupat menjadi alternatif pengganti nasi.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, lepet hampir mirip kupat. Hanya saja, lepet terbuat dari ketan yang disertai parutan kelapa dan diberi garam. Lepet memiliki rasa yang lebih gurih, sehingga bisa disantap langsung tanpa lauk.
Keberadaan kupat dan lepet dipercaya berfungsi sebagai penolak bala. Bahkan, biasanya hewan-hewan peliharaan, seperti kerbau dan sapi, diberi kalung kupat lepet agar terhindar dari mara bahaya dan segala macam penyakit.
Bukan hanya hewan peliharaan, kalung kupat lepet biasanya juga diletakkan di rumah, kendaraan, hingga tempat kerja. Hal tersebut juga merupakan pertanda kebesaran Bodo Kupat.
Dalam pesta lomban, masyarakat juga mengenakan pakaian baru untuk berpesta di Pantai Kartini. Lomban juga bisa diartikan 'lomba-lomba', yang berarti masyarakat nelayan bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut.
Sebagian masyarakat juga menyebut kata lomban berasal dari kata 'lelumban' atau bersenang-senang. Meski banyak jenis penyebutan, semuanya mempunyai makna yang sama, yaitu merayakan hari raya dengan bersenang-senang.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pesta Lomban Masa Dulu
Pesta lomban telah berlangsung lebih dari satu abad lalu. Keadaan lomban pada masa lalu tak berbeda dengan pesta lomban yang dilaksanakan masyarakat sekarang. Pada masa lalu, pusat keramaian perayaan ini berlangsung di Teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor.
Pulau Kelor saat ini merupakan Komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi Pantai Kartini yang saat itu masih terpisah dengan daratan di Jepara. Karena pendangkalan, lama-kelamaan Pulau Kelor dan daratan Jepara bergandeng menjadi satu.
Pulau Kelor (sekarang Pantai Kartini) dahulu pernah menjadi kediaman seorang Melayu bernama Encik Lanang. Pulau ini dipinjamkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Encik Lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda pada perang di Bali.
Kala itu, pesta lomban menjadi saat-saat yang menggembirakan bagi nelayan di Jepara. Pesta ini dimulai pada pagi hari saat matahari terbit.
Para peserta akan menuju ke perahunya masing-masing untuk mempersiapkan amunisi yang akan digunakan dalam 'Perang Teluk Jepara'. Amunisi tersebut berupa amunisi logistik dan amunisi perang, yakni ketupat, lepet, dan kolang-kaling.
Untuk membuat perayaan lebih semarak, masyarakat juga akan menyalakan petasan. Bunyi petasan akan menghiasi peluncuran 'peluru' kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu lainnya.
Beberapa perahu nelayan dihiasi sedemikian rupa. Para awak kapal bersiaga beramai-ramai untuk unjuk kekuatan berlomba mengarungi samudera dengan berbagai rintangan. Keberangkatan menuju Perang Teluk pun berlangsung meriah karena diiringi gamelan Kebogiro.
Suasana perang yang semakin gencar itu akan berakhir setelah dilerai. Ahirnya, semua pasukan perang diajak bersama-sama mendarat ke Pulau Kelor untuk makan.
Advertisement
Perang Lomban Masa Sekarang
Sementara itu, pesta lomban di masa kini dilaksanakan oleh warga masyarakat nelayan Jepara dan sudah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Dua atau tiga hari sebelum pesta lomban berlangsung, pasar-pasar di kota Jepara akan tampak ramai seperti ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Pesta lomban berlangsung sejak pukul 06.00 pagi yang dimulai dengan upacara Pelepasan Sesaji dari TPI Jobokuto. Tradisi pelarungan kepala kerbau ini dimulai sejak masa Haji Sidik yang kala itu menjabat Kepala Desa Ujungbatu sekitar 1920.
Upacara pemberangkatan sesaji kepala kerbau yang dipimpin oleh Bupati Jepara. Sebelum diangkut ke perahu, sesaji diberi doa oleh pemuka agama dan kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu pengangkut diiringi Bupati Jepara bersama dengan rombongan.
Sementara itu, sesaji dilarung ke tengah lautan. Para peserta pesta lomban pun menuju ke Teluk Jepara untuk bersiap melakukan Perang Laut dengan berbagai amunisi.
Kemudian, kepala kerbau diperebutkan oleh nelayan nelayan yang telah menanti di tengah lautan. Mitos yang beredar mengatakan jika nelayan berhasil mendapatkan sesaji kepala kerbau yang dilarung tersebut maka akan mendapatkan rezeki berlimpah.
(Resla Aknaita Chak)