Sukses

Tak Cuma Pria dan Wanita, Ada 3 Gender Lain di Suku Bugis

Masyarakat Bugis juga memiliki beragam tradisi menarik yang dilestarikan hingga saat ini.

Liputan6.com, Makassar - Suku Bugis merupakan salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan. Masyarakat Bugis tersebar ke daerah Maros, Pangkep, hingga Pinrang, dan juga tersebar ke arah Timur di Bulukumba hingga Bone.

Suku Bugis terkenal akan kehebatannya sebagai pelaut dan pedagang. Masyarakat Bugis juga memiliki beragam tradisi menarik yang dilestarikan hingga saat ini.

Salah satu yang terkenal ialah kebedaraan uang panai yang dapat berjumlah fantastis. Tak hanya itu, Suku Bugis juga mengenal lima gender dalam masyarakat adatnya.

Tradisi 5 gender Suku Bugis sudah dikenal sebelum ajaran Islam masuk ke Sulawesi. Dengan kata lain, tradisi 5 gender Bugis sudah muncul sebelum Kerajaan Islam Gowa-Tallo berkuasa pada abad ke-16.

Dikutip dari jurnal berjudul "Identitas dan Peran Gender pada Masyarakat Suku Bugis" (2018) oleh Sri Nurohim, dalam tradisi ini manusia tidak digolongkan laki-laki maupun perempuan. Pasalnya, mereka adalah manusia suci yang diyakini turun dari langit (To manurung) bersama Raja Luwuk, Batara Guru.

Seperti yang dijelaskan dalam kitab I Laga Ligo, karya sastra terpanjang di dunia. Selain laki-laki dan perempuan pada umumnya, masyarakat Bugis juga mengenal calalai, calabai, dan bissu.

Calalai adalah gender ketiga yang diakui dalam kebudayaan suku Bugis. Calalai ini merupakan perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki.

Secara fisik adalah perempuan, tetapi ia mengambil peran sosial sebagai laki-laki dalam kehidupan kesehariannya. Misalnya mereka bekerja sebagai pandai besi, merokok, dan keluar rumah pada malam hari.

Sementara untuk Calabai sendiri merupakan istilah bagi laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Calabai dibedakan menjadi 3, yakni Calabai tungke’na lino, Paccalabai, dan Calabai kedo-kedonami.

Meskipun Calabai berpenampilan seperti wanita, tetapi mereka tidak menganggap dirinya sebagai wanita sebagaimana waria. Mereka juga tidak ingin menjadi wanita melalui proses operasi kelamin (transeksual).

Gender terakhir merupakan bissu. Secara etimologis, Bissu berasal dari kata “bessi” yang artinya bersih atau suci. Ia tidak menikah, haid, melahirkan, atau menyusui.

Istilah Bissu berasal dari kata Bhiksu (pendeta atau pimpinan agama Budha). Pada masa pra Islam, agama Budha sudah berkembang di tengah masyarakat Bugis, sehingga ada kemungkinan bahasa Sanskerta juga meresap ke dalam bahasa Bugis.

Hal ini juga ditandai oleh fungsi Bhiksu yang hampir sama dengan Bissu. Kemudian secara kebudayaan, Bissu menempati posisi sakral dan derajat sosial yang tinggi sebab mereka menjadi perantara spiritualitas antara masyarakat Bugis pra-Islam dan para Dewata di langit.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Pelestari Tradisi

Penghormatan yang tinggi kepada bissu bukan pada aspek gendernya, namun pada peran sosialnya sebagai pelestari tradisi dan budaya masyarakat Bugis. Meski dianggap tidak umum, masing-masing gender memiliki peran sosial masing-masing dalam masyarakat Bugis.

Misal calabai, mereka selalu dilibatkan dalam acara pernikahan masyarakat Bugis. Mereka dikenal dengan istilah Indo’ Botting. Mulai dari penentuan tanggal pernikahan, dekorasi tenda dan gaun pengantin hingga penyajian makanan melibatkan peran Calabai.

Sementara untuk bissu, ia memiliki derajat sosial yang tinggi di masa kerajaan, meskipun keberadaanya kini semakin terancam punah. Eksistensi tradisi 5 gender Suku Bugis memudar setelah tragedi tahun 1950-an.

Hingga saat ini, tidak banyak penganut aturan tradisi 5 gender Suku Bugis yang tersisa. Bahkan keberadaan para bissu yang dianggap sebagai orang suci tidak lagi ditemukan.