Sukses

Inggit Garnasih Kembali Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Bukan Hanya karena Senyumnya

Sosok perempuan Jawa Barat, Inggit Garnasih (1888-1984) dipandang sangat layak menjadi pahlawan nasional ditinjau dari kiprahnya selama mendampingi Soekarno.

Liputan6.com, Bandung - Sosok perempuan Jawa Barat, Inggit Garnasih (1888-1984) dipandang sangat layak menjadi pahlawan nasional ditinjau dari kiprahnya selama mendampingi Soekarno. 

Hal itu dikemukakan sejarawan Universitas Padjadjaran Reiza D. Dienaputra dalam acara Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (16/2/2023). 

Menurut Reiza, dari awal mendampingi Bung Karno, kiprah Inggit sangat besar bagi perkembangan pribadi Bung Karno. 

"Membantu Bung Karno menyelesaikan pendidikannya hingga bergelar insinyur, ikut mendirikan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) hingga rela ikut dibuang atau diasingkan ke Ende dan Bengkulu," kata Reiza dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jumat (17/2/2023).

Reiza yang juga Ketua Dewan Pengkajian dan Penetapan Gelar Daerah (P2GD) Jabar mengakui bahwa dalam penetapan pahlawan nasional, pemerintah menetapkan sejumlah persyaratan ketat baik administrasi maupun literatur lainnya. 

"Sehingga penetapan gelar pahlawan itu tidak bisa hanya karena katanya atau konon kabarnya. Nah persyaratan itulah yang sedang kita susun dan lengkapi saat ini dalam rangka pengusulan Inggit Garnasih menjadi pahlawan nasional," ujar Reiza. 

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Dinsos Jabar Elis Kartini menyampaikan, batas akhir pengusulan gelar pahlawan nasional paling lambat 31 Maret 2023. 

"Kementerian Sosial menetapkan setiap tahun batas akhir pengusulan gelar pahlawan itu tanggal 31 Maret. Nah kami mohon dukungan dari semua, sebelum batas akhir tersebut, pengusulan Inggit Garnasih sebagai pahlawan nasional sudah bisa diserahkan ke Kementerian Sosial," kata Elis. 

Menurut Elis, nama Inggit Garnasih sebenarnya sudah diusulkan dua kali, yaitu tahun 2008 dan tahun 2012. Namun karena kekurangan persyaratan akhirnya ditunda. 

"Nah baru tahun ini kita akan usulkan lagi atas permintaan dari Ibu Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5) beberapa waktu lalu," ucapnya. 

Elis menambahkan, sejak 1963 hingga sekarang sudah ada 14 pahlawan nasional yang ditetapkan berasal dari Jawa Barat.

Perjalanan hidup Inggit Garnasih di halaman berikutnya..

2 dari 3 halaman

Perjalanan Hidup Inggit Garnasih

Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan Banjaran, Kabupaten Bandung, dari pasangan Ardipan dan Amsi. Dikutip dari laman museumindonesia.com, nama asli Inggit hanyalah Garnasih. Nama itu merupakan doa agar anak mereka menjadi pribadi tegas, segar, menghidupkan, dan penuh kasih sayang.

Harapan itu menjadi kenyataan. Menginjak dewasa, Garnasih menjadi seorang remaja putri yang cantik dan menarik hingga ke mana pun pergi selalu menjadi perhatian warga, terutama para pemuda.

Di antara mereka sering melontarkan kata-kata "mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit" (pada saat itu satu ringgit sama dengan 2,5 gulden Belanda dan nilainya masih sangat tinggi). Julukan itu kemudian benar-benar merangkai namanya menjadi Inggit Garnasih.

Saat usianya kurang lebih 12 tahun, Inggit Garnasih menikah dengan Nata Atmadja yang menjabat sebagai patih pada Kantor Residen Belanda. Namun, perkawinan itu berakhir dengan perpisahan.

Setelah berpisah dengan Nata Atmadja, Inggit dilamar oleh H. Sanoesi seorang pedagang kaya dan sukses. Suami kedua Inggit merupakan seorang tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam Jawa Barat dan merupakan salah satu kepercayaan HOS Tjokroaminoto.

Bagi Inggit, perkawinan keduanya ini merupakan awal kehidupan memasuki dunia politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu dilaksanakannya Kongres Sarekat Islam (1916). Kala itu Inggit dipercaya untuk memimpin dapur umum, mengatur, dan menerima undangan bagi seluruh peserta kongres yang datang dari seluruh Tanah Air.

Kehidupan rumah tangga Inggit dengan H. Sanoesi berjalan dengan mulus dan penuh kasih sayang sampai Soekarno datang berbekal surat dari HOS Tjokroaminoto untuk meminta keluarga H. Sanoesi dapat menerimanya tinggal di rumah sebagai anak kos. Soekarno pindah ke Bandung dalam rangka belajar di HTS (sekarang ITB).

Pada saat itu, Soekarno sudah berstatus suami dari Oetari, putri dari HOS Tjokroaminoto. Seiring kebersamaan mereka, Soekarno jatuh cinta pada Inggit Garnasih, begitu pula sebaliknya. Perkawinan kedua Inggit dengan Sanoesi akhirnya kandas secara baik-baik, begitu pula dengan pernikahan Soekarno dan Oetari.

3 dari 3 halaman

Pernikahan dan Perceraian Inggit Garnasih-Soekarno

Pada 24 Maret 1923, Inggit dan Soekarno menikah. Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno yang baru 22 tahun menjadi 24 tahun, sedangkan usia Inggit diturunkan satu tahun menjadi 35 tahun.

Ngkus, itulah panggilan sayang Inggit pada Soekarno. Baginya, Soekarno adalah suami, guru, mitra perjuangan, sekaligus kekasih. Begitu pun sebaliknya bagi Soekarno, Inggit adalah istri, mitra dalam berjuang, kekasih dan sekaligus merupakan sosok "ibu" yang memberikan air kehidupan penyejuk jiwa.

Meski Soekarno keluar masuk penjara saat itu, Inggit selalu sabar, setia, dan siap membantu Soekarno. Pada 1 Agustus 1933, tepat dua tahun setelah Soekarno dibebaskan dari penjara Sukamiskin (1929-1931), dia kembali ditangkap polisi Belanda dengan tuduhan melakukan tindakan subversif karena menulis risalah yang berjudul "Mentjapai Indonesia Merdeka".

Kali ini pemerintah mengambil tindakan dengan menginternirnya ke Ende, Flores. Pada pertengahan Februari 1934, Soekarno dan keluarga (Inggit, Ibu Amsi, Omi, Mahasan, dan Karmini) tiba di Ende.

Waktu di Ende, Inggit dan Soekarno dapat musibah yang mengakibatkan duka yang panjang. Ibu tercintanya meninggal dunia bulan Oktober 1935. Ketika Soekarno menderita sakit malaria dan atas desakan Husni Thamrin, pemerintah Belanda memindahkan Soekarno dan keluarganya ke Bengkulu pada 1938.

Kepindahan keluarga kecil Soekarno dan Inggit membawa prahara rumah tangga. Soekarno yang tertarik pada Fatmawati kemudian melontarkan keinginannya untuk menikahi orang yang sudah dianggap anak oleh Inggit.

Soekarno beralasan menginginkan keturunan. Pada waktu itu sebenarnya tidak terbersit dalam pikiran Soekarno untuk menceraikan Inggit yang setia mendampinginya dalam perjuangan selama 20 tahun baik suka maupun duka. Akan tetapi, Inggit tidak mau dimadu.

Inggit kemudian kembali ke Bandung. Pada 29 Februari 1942, Inggit resmi bercerai dari Soekarno, yang disaksikan oleh Kyai Haji Mas Mansoer. Surat cerai diserahkan oleh Soekarno pada Inggit yang diwakili oleh H. Sanoesi.

Sejak itu, selesailah tugas Inggit menghantar Soekarno sebagai pemimpin dan bapak bangsa menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Perjalanan hidup Inggit selanjutnya berlangsung dalam kesendirian. Ia pun berusaha menghidupkan dirinya dengan membuat bedak dan jamu.