Sukses

Mengenal Kain Lurik Khas Klaten yang Masih Gunakan Alat Tenun Tradisional

Seiring perkembangan zaman, motif kain lurik pun juga mengalami perkembangan

Liputan6.com, Klaten - Lurik tradisional khas Klaten umumnya menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Benang-benang tersebut dianyam dengan penuh kesabaran dan ketekunan, sehingga menghasilkan lurik berkualitas.

Tak hanya bermotif garis, lurik juga ada yang bermotif klenting kuning, sodo sakler, tuluh watu, tumbar pecah, udan liris, telupat, dan sebagainya. Pada zaman dahulu, lurik dikenal dengan motif-motif lurik lasem, lurik ronda semaya, lurik glondongan, lurik kepyur, lurik uyah sewuku, lurik badra, lurik talutuh watu, lurik kedutan, lurik mawur, lurik mindi, lurik telupat, lurik gondaria, lurik jaran dawuk, lurik kembang jeruk, lurik kembang teki, lurik kembang cengkeh, lurik ketan ireng, lurik mas kumambang, lurik semar mesem, hingga lurik kembang delima.

Seiring perkembangan zaman, motif kain lurik pun juga mengalami perkembangan, seperti yuyu sekandang, sulur ringin, dan lainnya. Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, kain lurik telah teruji mampu bertahan di tengah gempuran budaya luar.

Kain ini masih tetap eksis sebagai bahan sandang, baik di ranah nasional maupun internasional. Usia tenun lurik sebenarnya juga sama lawasnya dengan sejarah berdirinya bangsa ini.

Dari zaman Majapahit, tenun lurik sudah dikenal masyarakat. Lurik juga muncul pada relief Candi Borobudur, yakni adanya relief seseorang sedang menenun dengan alat tenun gendong.

Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur 1033 juga menyebutkan tentang kain tuluh watu. Tuluh watu merupakan salah satu nama motif lurik tradisional yang digunakan dalam acara sakral sekaligus menjadi salah satu motif klasik tenun lurik.

Beberapa orang menyebut, Kabupaten Klaten adalah ibukota tenun lurik, khususnya tenun ATBM yang mengandalkan tenaga manusia. Cikal bakal lurik Klaten adalah lurik Pedan.

Lurik Pedan dirintis oleh saudagar kaya bernama Suhardi Hadi Sumarto. Ia berkuliah di Textiel Inrichting Bandoeng (Sekolah Tinggi Tekstil Bandung) pada 1938-1948.

Selanjutnya, ia membangun industri lurik di Pedan. Namun, pada masa-masa perjuangan pascakemerdekaan RI, orang-orang di Pedan membumihanguskan segala yang berbau Belanda.

Peristiwa ini membuat pabrik tenun Suhardi Hadi Sumarto terbengkalai. Selama di pengungsian, Suhardi pun menyempatkan diri berbagi pengalaman dan mengajarkan pembuatan tenun lurik untuk masyarakat pengungsi.

Barak pengungsian kemudian disulap menjadi sekolah menenun yang sederhana. Usai dari pengungsian, mereka yang telah diajari cara menenun pun membuka lapak tenun lurik di teras-teras rumah.

Masa keemasan lurik Pedan terjadi sekitar 1950-1960. Ada sekitar 500 industri tenun rumahan dengan 10.000 tenaga kerja.

Sayangnya, lurik kembali meredup beberapa tahun setelahnya. Pada masa pemerintahan Soeharto, banyak industri yang beralih dari ATBM ke mesin.

Namun, masih ada industri kecil ATBM di Pedan yang bertahan meski jumlahnya tak banyak. Tenun tradisional ini bahkan telah memiliki pasar sendiri hingga ke pasar internasional, seperti Prancis, Jerman, Australia, dan Belanda. Tak hanya dijadikan pakaian, para pelanggan juga membeli lurik untuk dijadikan hiasan interior rumah.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.