Liputan6.com, Yogyakarta Pengamat psikologi sosial UGM, Lu’luatul Chizanah mengatakan perilaku Mario Dandy Satrio anak pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo yang suka menampilkan konten tentang barang-barang mewah yang dimilikinya merupakan tindakan flexing alias suka pamer harta. Mario sengaja melakukannya untuk menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.
“Flexing menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial. Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang,” jelas Dosen Fakultas Psikologi UGM, Selasa (28/2/2023).
Ia menyatakan perilaku flexing di media sosial ini ditujukan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok. Dalam kontek pembentukan relasi atau pertemanan, membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu.
Advertisement
Baca Juga
“Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai saya layak masuk kalangan elite,” ujarnya.
Lu’luatul mengatakan jika perilaku flexing ini mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah karena tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya. Lalu orang tersebut melakukan Flexing untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.
“Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya,”terangnya.
Menurutnya perilaku flexing dapat menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat spal kepemilikan material. Karena pelaku flexing yang mengunggah dapat dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material.
“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,”ucapnya.
Impulsif Buying
Perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsif buying untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing. Apabila flexing ditujukan untuk mengatasi self esteem rendah, maka hal tersebut hanya bersifat semu dan tidak berujung serta bersifat adiktif.
“Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik itu tidak masalah. Akan jadi masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri,”urainya.
Lu’luatul menjelaskan agar tidak terjebak pada perilaku flexing maka perlu tindakan tidak mengkomparasikan diri dengan orang lain yang berada di atas dirinya.
“Coba untuk melihat ke bawah, jangan ke atas terus karena akan ada dorongan untuk flexing jika melihat ke atas. Kalau melihat ke bawah justru akan muncul rasa syukur,” katanya.
Menurutnya setiap orang memiliki potensi untuk berperilaku flexing. Namun, kemampuan mengelola diri untuk melakukan flexing atau tidak menjadi sangat penting.
“Flexing untuk menunjukkan pencapaian, sesekali tidak apa. Namun saat kalau tidak posting menjadi cemas ini harus jadi alarm diri,” terangnya.
Advertisement