Liputan6.com, Sukabumi - Nama Mr Samsoedin atau Raden Sjamsudin mungkin sudah tak asing di telinga warga Sukabumi, karena namanya yang digunakan mulai dari nama jalan hingga rumah sakit.
Tokoh pejuang yang lahir di Sukabumi tanggal 1 Januari 1908 ini memiliki peran sangat besar pada masa penjajahan, untuk kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga
Terlahir dari keluarga berpendidikan, ia merupakan putra menak dan ulama yaitu Raden Haji Ahmad Djoewaini Hoofd Penghoeloe Soekaboemi dari istri ketiganya yaitu RE. Djoewitaningrat. Menjadikan Samsoedin juga melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke Universitas Leiden, Belanda jurusan Hukum.
Advertisement
Tepat pada 14 Maret 1942, saat masa pendudukan Jepang, Samsoedin mulai membantu pekerjaan propaganda Balatentara Dai Nippon di bawah pimpinan Kolonel Macida di Sandenbu-Sendenka di Bogor, sebelum dipindahkan ke Jakarta.
Hingga pada 18 April 1942, Samsoedin menjadi pucuk pimpinan Pergerakan 3A (San A Undo Tyuoo Honburtyo atau Jepang Cahaya Indonesia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Indonesia). Begitu Jepang menguasai Indonesia, surat kabar berbahasa Belanda tak terbit lagi.
"Untuk membantu dalam rangka mempercepat tugas-tugasnya sebagai Ketua 3A, ia menerbitkan suratkabar yang bernama Asia Raya. Pada 1 Mei 1943 Ir. Sukarno mengangkat Samsoedin sebagai Kepala Bagian Keselamatan di Kantor Besar 'Putera' di Jakarta," tutur Irman saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Saat itu, sikap Samsoedin yang selalu mengkritik, kurang disukai Jepang. Namun, karena kemampuan Samsoedin dalam berbagai aspek masih dibutuhkan Jepang.
Tepat pada 2 November 1944, Samsoedin dilantik sebagai Wali Kota Sukabumi dengan sebutan Sicho Sukabumi Shi. Sampai pada menjelang kekalahan Jepang pada 28 Mei 1945, ia menjadi anggota BPUPKI bersama KH Ahmad Sanusi.
"Wali Kota Sukabumi Mr. Syamsudin dimungkinkan sudah mengetahui betul perihal proklamasi tersebut secara utuh. Oleh sebab itu, pada 17 Agustus 1945 seluruh staf pegawai Kota Sukabumi yang dipimpin oleh Mr. Syamsudin dan wakilnya Eddy Djajakomara berkumpul di lapangan Sukabumi," jelas Irman.
Kabar mengenai kekalahan Jepang dan desakan proklamasi berhembus sampai Sukabumi. Pada 16 Agustus 1945, istri Samsoedin, Artinah Samsoedin menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya di Sukabumi bahwa Jepang sudah menyerah dan isu kemerdekaan sudah ramai diperbincangkan di Jakarta.
Hingga, tepat pukul 10.00 WIB mereka mendengarkan pidato Bung Karno yang menjelaskan tentang proklamasi kemerdekaan. Sesudah mendapat konfirmasi bahwa Proklamasi sudah terdeklarasi, maka pada 20 Agustus 1945 dilakukan pertemuan para tokoh pejuang Sukabumi.
Pertemuan itu berlangsung di asrama NAGAKO (Sekolah Pertanian) yang dihadiri oleh Dr. Abu Hanifah, Suradiraja, Mr. Samsoedin, Gatot Mangkupraja, Suriana, A. Gani, Setiaatmaja, Sasmita, Iskandar, Sukatma, M. Barnas, dan lain-lain.
"Untuk menindaklanjuti pendirian KNIP di Jakarta, maka di Kota Sukabumi dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dengan ketua dr. Abu Hanifah, Mr. Syamsudin, dr. Abu Hanifah, Mr. Haroen serta para pejuang kemerdekaan dan kelompok Cikiray 10B," jelasnya.
Â
Tokoh Negosiator Bojong Kokosan Sukabumi
Perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan masih terus berlanjut, meski proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 telah dibacakan. Salah satunya perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan itu yakni pertempuran Bojong Kokosan yang terjadi di wilayah Sukabumi pada 9 Desember 1945.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, agresi tentara Sekutu yang diboncengi pasukan Belanda (NICA) segera mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Perlawanan bersenjata dari pejuang kemerdekaan pun merebak di berbagai daerah.
"Ketika pasukan Inggris mendarat di Jakarta, situasi Sukabumi sedikit tegang karena konvoi pasukan Inggris yang diboncengi NICA tidak melibatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam pengawalannya," terang Irman.
Kemudian, Letkol Eddie Soekardi selaku Komandan Resimen III TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang membawahi Bogor, Sukabumi dan Cianjur lalu berdiskusi dengan Wali Kota Sukabumi Mr Raden Samsoedin.
Hasil dari pertemuan tersebut muncul kesepakatan tak tertulis bahwa TKR Sukabumi harus menghadang konvoi pasukan Inggris karena tidak ada izin dari TKR pusat serta tidak ada tanda-tanda diikutsertakannya pihak TKR.
"Terjadilah perang konvoi pertama yang dikenal juga sebagai perang Bojongkokosan yang membuat pasukan Inggris mogok dan tidak mau melanjutkan perjalanan ke Bandung. Inggris kemudian mengirimkan utusan ke rumah Mr Raden Samsoedin di dekat Alun-alun Sukabumi," jelas Irman.
Irman menjelaskan, pertemuan antara pasukan Inggris dengan Raden Samsoedin berlangsung di Jalan Kaum, Kota Sukabumi. "Perwakilan Inggris dari Bogor menemui beliau di rumahnya," tutur dia.
Dia menyebut, Mr Raden Samsoedin berperan aktif sebagai negosiator. Debat antara keduanya pun kerap kali terjadi. Termasuk dengan pihak garis keras Sukabumi yaitu Mr Harun dan Eddie Soekardi.
"Tapi karena rasa hormat kepada Mr Samsoedin, maka semua ikut keputusan perundingan. Dalam pertemuan itu Samsoedin menyampaikan protes keras kepada pihak Inggris terhadap pelanggaran yang tidak melibatkan TKR," ucapnya.
Pertemuan negosiasi tersebut juga melibatkan tentara Inggris, yang dihadiri oleh dr. Abu Hanifah selaku Kepala Rumah Sakit Lidwina (saat ini RSUD Syamsudin SH), RH Didi Soekardi (ayah dari Komandan Resimen Eddie Soekardi yang juga tokoh nasional), Bupati Sukabumi Mr. Harun dan Komandan Resimen III TKR Eddie Soekardi serta Mayor Abdulrahman yang diundang atas permintaan Mr. Syamsudin.
"Dalam kesempatan itu pihak Inggris memohon untuk diberikan jaminan dalam melanjutkan perjalanannya. Sementara pihak tentara keamanan rakyat (TKR) meminta untuk pelibatan TKR dalam pelucutan Jepang dan penanganan tahanan sesuai perjanjian antara pihak Inggris dan Indonesia," jelas dia.
Akhirnya, disepakati untuk kembali ke awal perjanjian di mana semua pengurusan tawanan akan melibatkan TKR. Sejak itu dimulailah penanganan urusan pengiriman perbekalan untuk APWI Bandung dengan melibatkan TKR. Tawanan yang hendak dibebaskan Sekutu itu dikenal dengan sebutan Allied Prisoners of War and Intenees (APWI).
Masih kata Irman, Bulan September 1946, Samsoedin mundur dari jabatan Wali Kota Sukabumi dengan alasan ingin fokus membangun Hizbullah (laskar pejuang yang aktif selama masa perang kemerdekaan), sementara posisinya digantikan oleh Soeria Hoedaja, seorang pejabat dari Bogor.
Samsoedin menjadi anggota Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan duduk sebagai anggota Dewan Partai sebagai perwakilan POI (Persatuan Oemat Islam) Sukabumi.
"Saat terjadi agresi militer Belanda ke Sukabumi, beliau yang mengobarkan bumi hangus dengan ancaman jika Belanda menguasai Sukabumi, maka bumi hanguskan kota. Dalam suasana genting akibat agresi Belanda, Samsoedin turut bergerilya di Sukabumi selatan, lalu ikut hijrah ke Yogyakarta beserta pejabat pemerintah RI lainnya sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda," pungkasnya.
Advertisement